Jumat, 28 Maret 2008

"Upaya Membebaskan Masyarakat dari Belenggu Pendidikan Mahal dan Tidak Berkualitas"


"Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Pendidikan Mahal"

Disusun dan diedit ulang oleh:

Arip Nurahman

Pendidikan Fisika, FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia
&
Follower Open Course Ware at MIT-Harvard University, U.S.A.

"Matahari terbit Fajar tiba

Dan aku melihat 8 juta kanak-kanak tanpa pendidikan

Aku bertanya tetapi pertanyaanku membenturi meja-meja kekuasaan yang macet

Dan papan tulis- papan tulis para pendidik yang terlepas dari persolan kehidupan

Delapan juta kanak-kanak menghadapai satu jalan panjang

Tanpa plihan tanpa pepohonan tanpa dangau persinggahan tanpa ada bayangan ujungnya "

~W.S. Rendra~

"Tujuan pendidikan tidak sekedar mencetak sarjana yang berkualitas untuk kemudian mengabdi pada pasar, akan tetapi pendidikan harus mencetak sarjana yang memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah masayarakat. Pendidikan harus memberi tanggungjawab pada outputnya untuk memajukan taraf hidup masyarakat, memenuhi kebutuhan masyarakat, serta memberikan semangat bangsaisme dalam rangka mewujudkan Indonesia yang mandiri, bebas dari segala bentuk penjajahan dan penindasan."

~Jafar Fakhrurozi, Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia~

Abstract

Poverty is deprivation of those things that determine the quality of life, including food, clothing, shelter and safe drinking water, but also such "intangibles" as the opportunity to learn, to engage in meaningful employment, and to enjoy the respect of fellow citizens. Ongoing debates over causes, effects and best ways to measure poverty, directly influence the design and implementation of poverty-reduction programs and are therefore relevant to the fields of international development and public administration.

Although poverty is generally considered to be undesirable due to the pain and suffering it may cause, in certain spiritual contexts "voluntary poverty," involving the renunciation of material goods, is seen by some as virtuous.

Poverty may affect individuals or groups, and is not confined to the developing nations. Poverty in developed countries is manifest in a set of social problems including homelessness and the persistence of "ghetto" housing clusters.


Poverity and Education

Education Reduces poverty in reach and poor country

"Better educated people hav a greater probability of being employed, are economically more productive, and therefore earn higher incomes."

Throughout the world it has been found that the probability of finding employment rises with higher levels of education, and that earnings are higher for people with higher levels of education. A better educated household is less likely to be poor.

The impact of education on earnings and thus on poverty works largely through the labour market, though education can also contribute to productivity in other areas, such as peasant farming (Orazem, Glewwe & Patrinos, 2007: 5). In the labour market, higher wages for more educated people may result from higher productivity, but also perhaps from the fact that education may act as a signal of ability to employers, enabling the better educated to obtain more lucrative jobs.

Middle-income countries – which frequently have well developed markets for more educated labour – are particularly likely to see the benefits of education translated into better jobs and higher wages. In Chile, for instance, between one quarter and one third of household income differences can be explained by the level of education of household heads (Ferreira & Litchfield, 1998, p. 32).

It was previously thought that the returns to education (the quantified benefits of investing in education) were highest at primary levels. This belief provided a strong case for expanding investment in primary rather than higher levels of education (Psacharopoulos & Patrinos 2004). However, new evidence seems more mixed. While some studies continue to show higher returns for primary education, there is now also much evidence that investment in education at secondary or even tertiary levels may bring even higher returns in some countries.

This could indicate that returns to education vary with factors such as the level of development, the supply of educated workers, and shifts in the demand for such workers in the development process. It is well known that the demand for more educated labour rises as a country develops (Murphy & Welch, 1994). This increase in demand for highly skilled workers requires educational output to adjust accordingly, raising the relative returns to higher levels of education (Goldin & Katz, 1999).

Nevertheless, the absolutely poor in developing countries usually have low education levels. Some may still not even have access to primary education or may not complete their primary education. Universal primary education is therefore crucially important to reduce poverty. However, there are also examples of countries where the rapid expansion of education has resulted in lowering education quality, suggesting that countries face a trade-off between quantity and quality in the short to medium term. In such cases, the impact of education on poverty reduction may be small, and a lot of effort must go into protecting and enhancing the quality of education.

In developed countries there are sometimes groups of students who are excluded from the social mainstream. Some of the factors associated with this include poverty (especially relative poverty), language, ethnic minority status, or immigrant status (Schnepf, 2004). Although these factors may all separately contribute to social disadvantage and social exclusion, they often interact.

Thus social exclusion is a common feature of many educationally ‘at risk’ students, both poor and non-poor. Social mobility varies across countries in the developed world. Generally, education improves job prospects for poor groups, although upward social mobility is more difficult for groups that are also otherwise socially marginalized, such as immigrant communities or ethnic minorities. Even among such groups though, education lowers poverty, but the returns to education may be smaller than for non-minority members due to discrimination.


Upaya Tanpa Henti

Belum lama energi bangsa ini terkuras oleh persoalan pro-kontra RUU Sisdiknas menjadi UU Sisdiknas, kembali dunia pendidikan menarik perhatian kita. Pro dan kontra kembali terjadi, meskipun persoalan Aceh, "Sukhoigate", dan isu sebagian anggota MPR berfoya-foya di luar negeri juga turut mengemuka.


Persoalan pendidikan kali ini mengenai mahalnya biaya pendaftaran masuk sekolah dan Perguruan Tinggi. Persoalan ini memang persoalan klasik yang selalu hadir dari tahun ke tahun saat tahun baru ajaran akan dimulai. Tapi persoalan besarnya biaya pendidikan yang timbul tidak bisa dianggap persoalan yang remeh, karena hal ini menyangkut keadilan dan hak bagi seluruh anggota masyarakat untuk bersama-sama mendapat pendidikan yang bermutu dan berkualitas.

Adalah sejak tahun 2000 pemerintah memberikan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ada di Indonesia. PTN yang mendapat status BHMN yang dimaksud adalah Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Keempat PTN ini termasuk PT yang paling diminati oleh calon mahasiswa di antara PT yang ada di Indonesia. Maka tidak heran jika kemudian keempat PTN ini selalu menjadi incaran bagi calon mahasiswa baru. Dan, menjadi PT yang bestatus BHMN nampaknya kini menjadi suatu hal yang bergengsi dan membanggakan dalam dunia perguruan tinggi kita.

Sejak berstatus BHMN keempat PTN ini makin mandiri saja mencari dana. Sebab pemberian status BHMN itu juga berarti tidak mendapat subsidi lagi dari pemerintah. Dengan kata lain, PTN yang bersangkutan memiliki kebebasan sendiri untuk mencari dana operasional pendidikannya masing-masing. Dari sinilah pro-kontra dan perang opini mengenai besarnya biaya pendidikan itu mencuat. Mengapa? Bagi pihak PTN yang berstatus BHMN tentu saja hal ini menguntungkan dengan alasan bahwa, untuk menciptakan pendidikan yang bermutu perlu biaya besar dan mahal. Dengan demikian, tentu saja tunjangan isensif para dosen dan karyawan akan ditingkatkan. Maka persoalan mutu pendidikan sebenarnya dapat terbaca. Bukan terletak pada biaya pendidikan harus mahal, tapi gaji guru dan dosen harus tinggi. Dan saya kira, ini tugasnya pemerintah dan berkaitan erat dengan kebijakan yang dibuat dalam memajukan dunia pendidikan ke depan.

Namun bagi kalangan masyarakat tertentu, yang prihatin dengan nasib masyarakat yang kehidupan ekonominya rendah, tentu saja PTN yang memiliki status BHMN itu menjadi momok yang menakutkan. Betapa tidak, mahalnya biaya pendaftaran dan biaya kuliah, telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Kalaulah alasannya pendidikan bermutu itu harus mahal, alasan ini hanya berlaku di negara yang mengaku Sumber Daya Alamnya sangat banyak ini. Karena di Jerman, Perancis, Belanda, dan di negara berkembang lainnya, menurut para ahli pendidikan, juga banyak memiliki PT yang bermutu tapi biaya pendidikannya sangat rendah. Bahkan di beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan bagi masyarakatnya. Tapi mengapa di Indonesia tidak? Maka, formula yang mengatakan biaya pendidikan harus mahal itu hanya berlaku di Indonesia saja. Ini dalam artian sebenarnya. Maksudnya, pendidikan saja yang mahal, tapi masih jauh dari mutu. Maka tidak terlalu salah jika kemudian timbul istilah "Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan" di dunia pendidikan kita saat ini.

Setuju atau tidak istilah itu timbul, namun kenyataannya tidak jauh berbeda dengan makna istilah yang dimaksud. Lihat saja giatnya keempat PTN yang berstatus BHMN itu dalam mencari dana. Masing-masing mereka berkompetisi dalam penerimaan calon mahasiswa baru dengan cara membuka "jalur khusus" dengan tarif Rp. 15 juta sampai Rp. 150 juta (gila!).

Di samping itu, IPB mencari dana operasional pendidikannya ke depan dengan cara membangun mal. ITB dengan cara menjaring calon mahasiswa baru melalui penelusuran minat, bakat, dan potensi (PMBP) dengan berkewajiban membayar uang masuk atau pendaftaran sebanyak Rp. 45 Juta. UGM mencari dana dengan cara menerima pendaftaran dan mengadakan tes mahasiswa baru lebih awal dari PT lainnya, dan sebagainya.

Sofian Efendi (rektor UGM), menulis di Kompas (24/6/2003), bahwa ada dua permasalahan mendasar yang dihadapi oleh PT di Indonesia. Pertama, krisis mutu. Kedua, krisis pembiayaan. Untuk menghadapi globalisasi pendidikan yang sudah mulai merambah ke Indonesia, dunia PT harus melakukan tugas pokok. Pertama, meningkatkan kualitas. Kedua, menjaga pemerataan akses tetap terjaga. Untuk mencapai kedua tujuan ini menurut Sofian diperlukan biaya besar. Inilah mungkin penyebab universitas yang dipimpinnya menerapkan kebijakan yang kontroversial itu.

Namun pertanyaan yang timbul adalah: Mengapa harus mengorbankan keadilan untuk mendapat pendidikan bermutu bagi masyarakat? Kalaulah harus demikian, apa bedanya PT negeri dengan PT swasta? Kalaulah kebijakannya seperti yang berlaku saat ini, maka dunia pendidikan kita telah menjalankan program


"Yang kaya sekolah dan kuliah, Yang miskin dan ekonominya rendah, pengangguran saja".


Bukankah ini suatu kejahatan? Terakhir, di mana tanggung jawab pemerintah?

Sungguh ironis memang, para akademisi yang disebut-sebut sebagai ilmuwan, intelektual, yang selalu bergelut dengan ilmu pengetahuan, ternyata berhadapan dengan uang sikap kritis hilang. Betapa tidak, karena rata-rata pihak PTN yang berstatus BHMN itu memperjuangkan cara mereka dalam menggulirkan roda pendidikan mahal itu.

Masyarakat telah dibelenggu dengan pendidikan yang berbiaya tinggi. Padahal sikap yang diharapkan timbul dari kalangan ilmuwan kampus (baca: dosen) dalam menyikapi persoalan ini sebaliknya. Yaitu, mereka seharusnya mampu mengontrol dan menjadi representatif dalam pencegahan terjadinya "Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan". Mengapa? Karena salah satu isi tri dharma perguruan tinggi adalah pengabdian pada masyarakat.

Berangkat dari persoalan ini semua, maka pemerintah juga yang akan disalahkan. Kesalahan pemerintah itu, menurut Ali Khomsan (dosen IPB) dalam tulisannya "Brain Drain" Dosen PTN yang dimuat di salah satu koran nasional terbitan Jakarta, terletak pada sedikitnya pemberian isensif bagi guru dan dosen. Untuk mengantisipasi itu, dan mengantisipasi terjadinya brain drain dalam pendidikan, maka pemerintah harus meningkatkan penghargaan atas jerih payah dosen dengan cara memberikan gaji yang memadai. Bukankah sangat disayangkan, kata Ali, setelah dosen dikuliahkan lebih tinggi di luar negeri, namun negara lain yang memperolah manfaat ilmunya.

Pemerintah memang telah menganggarkan dana pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN, tapi ketika dunia pendidikan saat ini mulai memasuki era neoliberal pendidikan, dana sebanyak itu menurut sebagian kalangan masih terasa kurang. Kita memang patut sadar, bahwa masih banyak sektor-sektor publik lain yang harus diperhatikan oleh negara ketika membuat kebijakan-kebijakan liberalisasi. Meskipun demikian, kebijakan yang dapat mendorong majunya dunia pendidikan harus diperioritaskan oleh pemerintah. Bila tidak, maka dunia pendidikan kita akan terus berada dalam krisis mutu dan krisis kalah saing dari negara-negara berkembang lainnya.

Negara Jerman, Perancis, dan Belanda adalah negara berkembang yang juga menghadapi persoalan yang sama dengan negara Indonesia dalam menyikapi liberalisasi dalam sektor-sektor publik. Namun, di bidang pendidikan mereka tetap memberi subsidi yang memadai. Malaysia misalnya contoh terdekat. Dahulu negara jiran ini yang belajar tentang pendidikan kepada Indonesia, dan para tenaga pendidik kita selalu diminta untuk mengajar di sana. Tapi kini realitasnya sungguh terbalik, saat ini kitalah yang menjadikan Malaysia sebagai referensi kemajuan dalam hal pendidikan. Ini disebabkan karena pihak pemerintahan Malaysia memberikan perhatian yang cukup baik bagi kemajuan pendidikannya.

Dengan memberikan hak otonomi dan status BHMN kepada beberapa PTN, menurut pandangan saya, secara tidak langsung pemerintah Indonesia ingin lepas tangan dari tanggung jawab pendidikan, khususnya pada persoalan dana. Akibatnya, timbullah pendidikan mahal dan komersialisasi pendidikan di negara ini. Siapa yang bertanggung jawab? Alih-alih membicarakan persoalan pendidikan mahal, maka siapapun akan menyalahkan pemerintah di negeri ini. Oleh sebab itu, untuk membebaskan masyarakat dari belenggu pendidikan mahal saat ini merupakan tanggung jawab pemerintah!.

Dalam konteks ini, masyarakat kota Batam patut berbangga. Karena pemerintah daerah (Pemda)-nya akan menggratiskan uang pendaftaran masuk ke sekolah negeri,

Kota Banjar segera menyusul

"I We Can Dream It Yes We Can Do It"
-H2O-

sumber:

1. Lidus Yardi S.Pd.I (lidusyardi@yahoo.com) adalah Alumnus IAIN Susqa Pekanbaru,
Instruktur Organisasi PII Riau.
Alamat : Jl. Tiung No 50 D Kampung Melayu Sukajadi
Pekanbaru 28124, Riau.

2. Servaas van der Berg (South Africa)
is Professor of Economics at the University of Stellenbosch, South Africa and holds the National Research Foundation’s Research Chair in the Economics of Social Policy. His research and publications are mainly on income distribution and poverty, the economics of education, the economic role of social grants, and benefit incidence analysis.

dari berbagai sumber yang terpercaya

Tidak ada komentar: