Jumat, 17 Februari 2012

SOE HOK GIE

Sebagai seorang peranakan China yang dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942, Soe Hok Gie, tentu tak menyangka dirinya akan menjadi bagian penting dari sejarah perjalanan demokrasi Bangsa Indonesia. Dibesarkan dalam nuansa peralihan dari penjajahan menuju pemerintahan demokratis, Gie tumbuh menjadi seorang remaja yang dipenuhi rasa ingin tahu, kritis, peka akan kondisi sosial dan pantang baginya untuk mengalah pada hal yang ia anggap salah. 

Konsep kritis dan perlawanan yang ia lakukan, diilhami dari keyakinannya bahwa hanya dengan melawan maka kebenaran sejati akan terlihat. Bahwa para pejuang, Soekarno, Hatta, dan lainnya, melakukan perlawanan tanpa henti untuk mewujudkan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Putra pasangan Soe Lie Piet, yang merupakan seorang penulis, dan Ni Hoe An ini menyelesaikan pendidikan dasarny di Sin Hwa Scholl, sebuah sekolah khusus peranakan China. 

Kemudian ia menyelesaikan pendidikan menengah pertamanya di SMP Strada, sebuah sekolah yang diasuh para Broeder Katholik dan melanjutkan ke SMA Kanisius. Dalam catatan hariannya yang tertanggal 10 Desember 1959, di masa sekolah inilah kritik Soe Hok Gie mulai mengungkapkan pemikirannya terhadap politik dan keadaan negrinya. Hari itu ia menceritakan pengalamannya bertemu dengan seseorang, bukan pengemis tapi terpaksa mengais makanan ditempat sampah karena kelaparan. 

Sementara dilingkungan istana, Gie menggambarkan kondisi ironis dengan menyinggung penguasa saat itu, Presiden Soekarno, yang beristri banyak. Detik inilah mulai terlihat perubahan pola pemikiran Gie. Gie yang dulunya mengagumi semangat juang Soekarno, perlahan mulai mengkritisi kebijakan-kebijakannya dalam pemerintahan. Bagi Gie, para pemimpin yang duduk di pemerintahan saat itu, adalah kumpulan generasi tua yang mengacau. Mereka adalah orang-orang yang mengkhianati apa yang diperjuangkan. 

Lulus dari SMA, Gie melanjutkan kuliah di Fakultas Sastra Jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia. Selain konsisten di bidang akademis, ia lebih banyak mengisi kegiatannya dengan diskusi sastra dan seni, serta mendekatkan diri pada alam. Meski kepekaannya terhadap masalah politik telah muncul sejak di sekolah menengah, tak sedikit pun ia tertarik untuk masuk kedalam pusaran politik. Gie melihat kondisi kampusnya, UI, yang telah dirasuki kepentingan politis partai-partai nasional. Banyak mahasiswa yang menjadi kader-kader organisasi eksternal. 

Organisasi ini merupakan peranakan partai nasional yang tentu saja menanamkan ideologi dan pandangan pergerakannya jauh ke dalam otak mahasiswa. Kondisi politik Indonesia di era 60an itu, digambarkan dengan kedekatan Soekarno dan PKI. Keduanya seolah saling bahu-membahu demi mempertahankan kekuasaan. Pihak militer pun turut mengawasi kedekatan keduanya. 

Dengan massa yang besar dan dukungan Soekarno, bukan tidak mungkin ideologi komunis yang dibawa PKI akan mengakar di Indonesia. Hal ini menjadi ancaman bagi partai-partai lain dengan ideologi yang bertentangan seperti liberalis, islam, dll. Karenanya muncul pergolakan yang tak kasat mata antar partai. Kemelut politik yang dilakukan partai-partai tersebut, justru tampak lebih nyata dan radikal di kalangan pergerakan mahasiswa. Dengan kata lain, pergerakan mahasiswa menjadi alat bagi kepentingan politik nasional. Mahasiswa dengan ideologi sama bersatu mengumpulkan kader dan begitu mengutamakan kepentingan kelompok. 

Masing-masing kelompok berkoar-koar akan melakukan perubahan untuk negeri yang lebih baik. Namun, fakta didalam kampus, justru terjadi pertentangan dan adegan saling menjatuhkan kelompok lain yang beda ideologi. Gie sendiri berusaha untuk tidak terseret dalam arus politik intervensi di pergerakan kampus. Dalam sebuah catatannya ia menulis : “Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. 

Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun”. Namun sebagai seorang intelegensia atau kaum cendekia, Gie memiliki prinsip bahwa mahasiswa adalah The happy selected few, orang-orang yang dipilih oleh keberuntungan sehingga dapat mengecap pendidikan tertinggi di tengah ketertinggalan sosial dan kepahitan ekonomi. Untuk itu mahasiswa memiliki tugas untuk memperbaiki keadaan. Mahasiswa menanggung beban dan tanggung jawab untuk menemukan konsepsi paling tepat demi membangun kemakmuran negara. Dalam salah satu tulisannya Gie mengatakan : “Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. 

Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah”. Jadi akan ada saatnya bagi Gie dan seluruh mahasiswa, untuk melakukan gebrakan menentang segala sesuatu yang salah kaprah. Gie memulai perannya. Ia bergabung dengan GMSos (Gerakan Mahasiswa Sosialis) dan menerbitkan tulisan-tulisan tanpa nama (underground campaign), berisi kritik terhadap pemerintah. 

Selain itu, bersama sahabatnya, Herman Lantang, ia membentuk senat mahasiswa sastra yang bebas dari intervensi politik. Paska Peristiwa Gerakan 30 September 1965, kondisi sosial politik hampir tak terkendali. PKI yang diduga sebagai dalang dari peristiwa berdarah yang mengorbankan para perwira tinggi militer itu, mendapat kecaman dari berbagai pihak. Militer dibawah pimpinan Soeharto mulai bergerak meringkus semua yang berhubungan dengan PKI. Bukan hanya D.N. Aidit dan pasukannya yang terlibat G 30 S, melainkan keseluruhan pengurus, ormas dan anggota PKI, bahkan yang diduga sebagai anggota dengan PKI. 

Dilain pihak, pemerintah justru menaikkan harga barang pokok yang tentu saja menyusahkan rakyat. Tahun 1966, kelompok-kelompok mahasiswa akhirnya menggabungkan diri dalam satu wadah yang dinamakan Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI). Memutuskan untuk melakukan demonstrasi dengan tiga tuntutan (TRITURA). Gie juga ikut ambil bagian dalam pergerakan mahasiswa ini. Merurutnya, militer tidak mungkin bergerak karena posisinya terjepit, antara kepentingan pemerintah dan desakan rakyat. 

Sementara jika rakyat yang bergerak, akan terjadi chaos. Karenanya, lebih baik mahasiswa yang bergerak. dalam catatannya ia menulis : “Kuputuskan akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan”. Rangkaian aksi mahasiswa meliputi demonstrasi ke sekretariat negara pada tanggal 10 Januari 1966, dilanjutkan aksi di rawamangun pada 11 Januari. 12 Januari longmarch dari Kampus UI Salemba ke Gedung DPR-GR, menempuh jarak 15 km. 13 Januari Gie dan ribuan mahasiswa melakukan gerakan bersepeda. 

Keseluruhan aksi ini dilakukan oleh hampir seluruh mahasiswa UI dengan menyebarkan pesan tritura dan kecaman terhadap pemerintah. Respon Soekarno terhadap aksi ini mengecewakan. Soekarno terkesan tidak serius dalam menindak tegas PKI. Aksi-aksi terpisah terus berlangsung, kecaman terhadap soekarno pun mengalir deras karena KAMI juga didukung oleh militer yang kontra Soekarno. 

Selama hampir satu tahun terjadi ketidakpastian di pemerintahan. Dualisme kepemimpinan muncul ketika Jendral Soeharto digadang-gadang sebagai pahlawan G 30 S dan Presiden Soekarno kehilangan kharismanya lantaran tidak dapat mempertanggungjawabkan peristiwa G 30 S serta tidak mau mengecam PKI. Akhirnya pada tanggal 20 Februari 1967, sesuai ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, Soekarno mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan presiden kepada Soeharto. Lengsernya Soekarno merupakan keberhasilan bagi gerakan aksi mahasiswa tahun 1966, atau biasa disebut angkatan ’66. Kondisi perkuliahan di kampus UI kembali normal. Gie menjadi salah satu staf pengajar di almamaternya. Ia masih aktif menulis tentang banyak hal, bukan dengan sembunyi-sembunyi lagi, melainkan dengan terang mencantumkan namanya. 

Namun, ketenangan tak berlangsung lama. Jauh dari harapan Gie akan sebuah pemerintahan yang adil dan bersih dari korupsi, disekitar awal tahun 1969 dugaan kasus tindak korupsi di pemerintahan terkuak dengan cepat. Akan tetapi kasus-kasus tersebut menghilang secepat kemunculannya. Pelanggaran pemerintahan orde baru seolah menjadi rahasia umum yang tak ingin disinggung karena basis pemerintahan ini adalah kekuatan militer. Meski begitu, ketakutan terhadap kekuatan orde baru nyatanya tak mampu menghambat getar-getar kritik politis yang mulai bangkit kembali.dalam pemikiran Gie. Ia memulai perlawanannya sendiri dengan bersenjatakan otak, hati, pena dan mesin ketik. Tulisan-tulisannya mulai beredar mengkritik polah pemerintah orde baru. 

Gie berusaha menguak apa yang terjadi dibalik penumpasan PKI. Melalui tulisannya ia berusaha menggiring opini publik untuk mencermati kekejaman praktek penumpasan PKI. Kritik Gie bukan hanya untuk pemerintah, tapi juga untuk banyak kalangan yang ia anggap salah. Melalui kritikannya yang pedas, Gie bukan hanya mendapatkan decak kagum, tapi juga makian dan ancaman pembunuhan. Seolah tak peduli, Gie tetap teguh pada prinsip-prinsipnya seperti pohon Oak yang tetap tegak melawan angin. Baginya, lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. Perlawanan Gie, berakhir di penghujung 1969. 

Dalam pendakian terakhirnya di Gunung Semeru, Gie meninggal karena menghirup gas beracun. Dikisahkan tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27, ia menghembuskan nafas terakhir di pangkuan sahabatnya, Herman Lantang. 

Posted by: Fazar Shiddieq Karimil Fathah

Jumat, 10 Februari 2012

INTERVENSI DALAM PERANG KOREA 1950 – 1958

Salah satu perang paling berpengatuh di dunia adalah Perang Korea. Latar belakang Perang Korea adalah keadaan social ekonomi pasca Perang Dunia II dan lahirnya Perang Dingin. Dalam Perang Dingin Amerika Serikat (AS) di blok barat dan Uni Soviet (US) di blok timur, melakukan intervensi dalam urusan dalam negeri Negara lain dengan tujuan untuk memperluas pengaruh keduanya. Terutama di Negara-negara Asia Pasifik, diantaranya Vietnam (Vietnam Utara dan Selatan), Jerman (Jerman barat dan timur), dan terutama Korea (Korea Utara dan Selatan). Selama berabad-abad, Korea berdiri sebagai sebuah wilayah dibawah kekuasaan monarki. 


Hingga akhirnya kekuasaan tersebut kehilangan taringnya saat Jepang melakukan invansi dan menduduki Korea. Konflik Korea bermula dari perjanjian Postdam tanggal 26 Juli yang berisi Korea akan dimerdekakan, namun 8 Agustus 1945 US menyerang Jepang yang saat itu menduduki Korea. Pasukan US menyerang pasukan Jepang lewat semenanjung Korea dan mencapai garis batas 380 Lintang Utara. Hingga pada tanggal 14 Agustus 1945 pasukan Jepang menyerah dengan menyatakan bahwa pasukan Jepang yang berada di sebelah Utara batas 380 LU, menyerah kepada US. Dan pasukan Jepang menyerah kepada AS di wilayah sebaliknya di selatan garis batas 380. Dari titik inilah terjadi pembagian wilayah Korea menjadi dua bagian. 

Garis 380 dijadikan sebagaii pertahanan demarkasi AS dan US. Pertikaian antara dua kekuatan, bahkan sevara tidak langsung menghalangi cita-cita Bangsa Korea untuk menjadi bangsa yang merdeka dan bersatu. Selain itu, AS dan US membentengi ideologinya di wilayah Korea, dimana AS mengembangkan paham Liberal Kapitalis di Korea Selatan, sedangkan US mengembangkan paham Sosialis Komunis di Korea Utara. Adanya pertentangan ideology di dua wilayah Korea menjadikan keduanya berselisih dalam berbagai hal. Korut yang merasa hak-haknya tidak diakui oleh PBB dalam siding umum yang mengesahkan laporan tentang hasil Pemilihan di Korsel dan mengatakan pemerintahan Korsel merupakan pemerintahan satu-satunya yang sah. 

Dari hal ini US mendukung hak Korut untuk merdeka dengan cara kekerasan atau perang yang nantinya pasokan perang disokong US dalam Perang Korea. Perang Korea sendiri mengalami pasang surut kemenangan, baik di pihak Selatan maupun Utara yang dibantu oleh AS dan US. Di mulai dari serang Korut yang mendadak di tahun 1950 sehingga Korsel berhasil diduduki oleh Korut. Bahkan Korut mengumumkan Perang yang didengungkan hingga seluruh Korea. Serangan Korut ini didukung oleh peralatan militer yang canggih dari US sepertti pesawat terbang Starmovik dan pesawat pemburu Yak, tank dan mobbil lapis baja dari Cina Utara. 

Korut juga didukung oleh 100.000 tentara. Berbeda dengan Korsel yang hanya mempunyai 95.000 tentara. Dari keadaan ini Korut berhasil menduduki Ibukota Korsel, Seoul, di tahun yang sama 1950 pada bulan Juni dengan wilayah yang dikuasai hinggal 80 mil persegi dari 12 kota. Hal ini semakin memperburuk keadaan posisi Korsel sehingga AS melakukan reaksi terhadap perang tersebut dengan alas an membendung Komunisme di Korea. 

AS membantu pihak Korsel. Berbagai langkah dilakukan AS guna melindungiii Korsel, dari mulai resolusi PBB, kebijakan mengerahkan angkatan militernya untk melindungi Korsel dari serangan Korut, hingga serangan langsung untuk merebut kembali Seoul kembali ke pangkuan Korsel. Mengetahui sekutunya kalah, RRC turut mengintervensi menyerang Korsel. Bantuan dari RRC ini berlangsung hingga bulan November yang mengakibatkan kemenangan kembali di pihak Korut. Hal ini memicu reaksi AS dan PBB. Bakan hal itu tidak menutup kemungkinan seluruh anggota PBB sejumlah 15 negara ikut terjun dalam Perang Korea, sementara Korut hanya dibantu oleh US dan RRC. 

Namun hal tersebut semakin memperburuk keadaan Korea, sehingga mendorong pihak yang bersengketa untuk melakukan gencatan senjata dan perundingan baik di pihak Korsel maupun Korut. Upaya penyelesaian Perang Korea selanjutnya seringkali gagal karena pertentangan kedua Negara Korea yang tetap tidak mau kalah. Sama seperti kedua Negara penyokongnya, AS dan US. Pada akhirnya Perang Korea berakhir tanpa ada pihak yang menang dan kalah. 

Posted by: Fazar Shiddieq Karimil Fathah

Rabu, 01 Februari 2012

PERGERAKAN PEMUDA INDONESIA PADA MASA PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

Peranan pemuda dalam perubahan selalu tercatat dalam sejarah setiap negeri. Termasuk di Indonesia, peran dan semangat pemuda telah muncul bahkan ketika jaman penjajahan Belanda. Ada banyak alas an yang melatarbelakangi munculnya pergerakan melawan Pemerintahan Hindia Belanda. Khususnya pergerakan pemuda pada masa Hindia Belanda dalam melawan Pemerintahan Hindia Belanda yang menyiksa dan merampas hak rakyat pribumi. 

Tetapi menurut Sartono Kartodiharjo, yang melatarbelakangi pergerakan pemuda melawan pemerintah Hindia adalah fase atau masa Kolonial Belanda di Indonesia. Pertama, fase kolonialisme VOC pada tahun 1602 sampai tahun 1799. Kedatangan Belanda di Indonesia pada mulanya bukan untuk menjajah melainkan untuk berdagang/berniaga. Akan tetapi pada tahun 1602, Belanda mendirikan organisasi perkumpulan kongsi dagang yang berlayar di wilayah Hindia Belanda yang bernama Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). 

Kongsi dagang ini awalnya didirikan untuk menyaingi Portugis dan Spanyol yang telah lebih dulu bercokol di nusantara. Namun, dengan hak octroi yang dimiliki VOC, lambat laun VOC seolah menjadi Negara yang berdiri di bawah Negara induknya, Belanda. Hal ini berimbas pada perilaku pemerintahan VOC yang semena-mena melakukan perluasan kekuasaan dengan mengadu domba penguasa local. Kekuasaan VOC menjadi awal kolonialisme di Indonesia. 

Fase kedua, adalah kolonialisasi konservatif tahun 1800 sampai 1811. Kolonialisme konservatif adalah masa setelah keruntuhan VOC, ketika pemerintahan diambil alih oleh Belanda. Di masa ini kita mengenal istilah kerja rodi atau kerja paksa yang dipopulerkan oleh pemerintahan Daendels. Proyek jalan Anyer – Panarukan, menjadi saksi kekejaman Belanda masa itu. 

Fase ketiga, adalah masa tanam paksa antara tahun 1816 sampai 1869. System tanam paksa merupakan system baru pemerintah Hindia Belanda untuk menutup kerugian financial negeri Belanda yang luar biasa parah akibat perang. Pada masa ini Hindia Belanda dipimpin oleh Ven Den Bosch. System tanam paksa merupakan ekspolitasi besar-besaran yang dilakukan pemerintahan Hindia Belanda. Tanah mereka direbut secara paksa, rakyat jelata ditekan untuk bekerja dengan upah yang minim, bahkan juga tanpa upah. 

Terlebih untuk kegiatan ekspor, rakyat pula yang mendapat beban pajaknya. Fase keempat, adalah system colonial liberal liberal yang diterapkan tahun 1870 sampai 1900. Di masa ini muncul pemikiran Trias Van Deventer yang meningingkan adanya politik balas budi untuk bangsa pribumi. Salah satu hal yang ditekankan adalah masalah pendidikan peribumi. Mulai masa ini pribumi diijinkan mengeyam bangku pendidikan. Meski demikian, hanya orang-orang tertentu saja yang mampu melanjutkan hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Fase kelima, adalah masa antara 1900 – 1942. Pada masa ini perusahaan-perusahaan di Indonesia dengan bebas berkembang sehingga ada system administrasi yagn digagas untuk pembangunan departemen-departemen. Dalam pemerintahan peran pejabat pribumi-pribumi mengalami banyak peningkatan. 


Fase-fase tersebut dinilai Sartono Kartodiharjo, menjadi latar belakang munculnya pergerakan pemuda. Berawal dari kesadaran akan penderitaan rakyat selama tiga abad di bawah kaki Belanda, kemudian munculnya kaum terpelajar, hingga pada abad ke-20 di Indonesia mengalami keadaan yang disebut Zaman Kemajuan. Disebut demikian, karena segala bidang yang ada mulai maju, terutama dalam bidang pendidikan. Sebagai contoh, didirikan sekolah yang diperuntukkan bagi kaum wanita yang bernama Hoofdenschool, kemudian Sekolah Dokter Jawa (STOVIA). Pada abad ini juga berdiri sebuah perkumpulan yang bernama “BUDI UTOMO” pada tanggal 20 Mei 1908 yang diilhami Dr. Wahiding Sudirohusodo. Tujuan yang hendak dicapai Wahidin adalah meningkatkan derajat pribumi melalui pendidikan. 

Setelah Budi Utomo berdiri sebagai organisasi pertama di Indonesia, muncul pula banyak organisasi lain seperti Organisasi Sarekat Islam yang berdiri pada tahun 1911 di kota Solo didirikan oleh Haji Samanhudi, Indische Party oleh Tiga Serangkai yaitu Douwes Dekker atau Dokter Setia Budi, Dr, Tjipto Mengunkusoemo, dan Soewardi Surjaningrat pada tahun 25 Desember 1912. Kemudian pada tahun 1914, berdirilah Indische Democratische Verenegning (ISDV) yang kemudian berganti nama Partai Komunis Indinesia (PKI). 


Hampir semua organisasi yang muncul di awal, hanya mewakili golongan atau kalangan tertentu. Namun, berdirinya organisasi-organisasi tersebut, juga memicu munculnya organisasi kepemudaan walaupun masih dalam taraf kesukuan. Tujuan mereka sama, Indonesia merdeka terlepas dari colonialism Belanda. Hanya saja, mereka masih terikat factor kesukuan dan ikatan wikayah. Seperti organisasi Tri Koro Dharmo yang kemudian dikenal dengan nama Jong Java. Berdiri pada tanggal 7 Maret 1915 di Jakarta dan dipimpin oleh Satiman Wiryo Sandjojo. Anggotanya hanya berasal dari Jawa dan Madura saja. 

Jong Java menjadi organisasi yang besar dan kegiatannya berkisar pada bidang social, kebudayaan dan teori politik. Berdirinya Jong Java mendorong pemuda suku lain untuk mendirikan organisasi. Demikian pula para pemuda Sumatera. Mereka mendirikan Jong Sumantranen Bond (JSB), yaitu perkumpulan yang bertujuan untuk mempererat hubungan di antara murid-murid yang berasal dari Sumatra, mendidik pemuda Sumatra menjadi pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan budaya Sumatra. 

Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta. JSB memiliki enam cabang, empat di Jawa dan dua di Sumatra, yakni di Padang dan Bukittinggi. Beberapa tahun kemudian, para pemuda Batak keluar dari perkumpulan ini dikarenakan didominasi oleh pemuda dari Minangkabau dalam kepengurusannya. Para pemuda Batak ini mendirikan perkumpulannya sendiri, Jong Batak. Kelahiran JSB pada mulanya banyak diragukan orang. Salah satu diantaranya ialah redaktur surat kabar Tjahja Sumatra, Said Ali, yang mengatakan bahwa kondisi Sumatra belum matang bagi sebuah pergerakan di bidang politik dan umum. Tanpa menghiraukan suara-suara mirig itu, anak-anak Sumatra tetap mendirikan perkumpulan sendiri. Kaum tua di Minangkabau menentang pergerakan yang dimotori oleh kaum muda ini. 


Mereka menganggap gerakan modern JSB sebagai ancaman bagi adat Minang. Aktivis JSB, Bahder Djohan menyorot perbedaan persepsi antara dua generasi ini pada edisi perdana surat kabar Jong Sumatra. Surat kabar Jong Sumatra memainkan peranan penting sebagai media yang menjembatani segala bentuk reaksi ataas konflik yang terjadi. Tanah Sumatra memang dikenal dengan penghasil jago-jago pergerakan. Banyak diantaranya yang mengawali karier organisasinya melalui JSB, seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Hatta adalah bendahara JSB di Padang 1916 – 1918. Kemudian ia menjadi pengurus JSB Batavia pada 1919 dan mulai mengurusi surat kabar Jong Sumatra sejak 1920 hingga 1921. 

Selama di Jong Sumatra inilah Hatta banyak menuangkan segenap alam pikirannya, salah satunya lewat karangan berjudul “Hindiana”. Sedangkan Yamin merupakan salah satu putra Sumatra yang paling dibanggakan. Karya-karyanya yang berupa esai ataupun sajak sempat merajai Jong Sumatra. Ia memimpin JSB pada tahun 1926 – 1928 dan dengan aktif mendorong pemikiran tentang perlunya bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa persatuan. 


Jong Sumatra berperan penting dalam memperjuangkan pemakaian bahasa nasional, dengan menjadi media yang pertama kali mempublikasikan gagasan Yamin, mengenai bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Pertumbuhan gerakan pemuda ayng bersifat kedaerahan di Indonesia telah membawa pengaruh di kalangan pemuda pelajar yang berkumpul di pusat kegiatan pendidikan, terutama di kota-kota besar seperti di Jakarta. Untuk memenuhi keinginan itu maka berdirilah Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Celebes (Sulawesi) dan perkumpulan pemuda lainnya. Walaupun anggota pendukungnya relative kecil tetapi nama organisasi cukup besar. Tujuan berdirinya organisasi pemuda lainnya seperti Jong Java, yaitu mengeratkan tali persaudaraan, memajukan budaya daerah, dan memperkuat persatuan pemuda. 

Faham persatuan dan Indonesia merdeka makin berkembang dalam masyarakat Indonesia. Di samping organisasi yang berpegang pada daerahnya terdapat pula kelompok yang dengan tegas menhendaki persatuan yaitu “Perhimpunan Indonesia”. Pada awal berdirinya PI berawal dari didirikannya Indische Vereniging pada tahun 1908 di Belanda, organisasi ini bersifat moderat. Sebagai perkumpulan social mahasiswa Indonesia di Belanda untuk memperbincangkan masalah dan persoalan tanah air. Pada awalnya Perhimpunan Indonesia merupakan organisasi social. 

Memasuki tahun 1913, dengan dibuangnya tokoh Indische Partij ke Belanda maka dibuatlah pokok pemikiran pergerakan yaitu Hindia untuk Hindia yang menjadi nafas baru perkumpulan mahasiswa Indonesia. Iwa Kusuma Sumantri sebagai ketua menyatakan 3 asas pokok Indische Vereniging yaitu 

1). Indonesia menentukan nasibnya sendiri, 

2). Kemampuan dan kekuatan sendiri, 

3). Persatuan dalam menghadapi Belanda. Tahun 1925 Indische Vereniging berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia dengan tujuan Indonesia merdeka. Karena status anggota PI adalah mahasiswa, hal ini berarti posisi mereka tanpa ikatan social politik tertentu dan tidak memiliki kepentingan untuk mempertahankan kedudukan. Sehingga mereka tidak khawatir dalam bertindak terang-terangan melawan pemerintah Belanda. 

Organisasi ini juga membuat lambing untuk Indonesia diantaranya merah putih sebagai bendera. Semenjak berakhirnya PD I perasaan anti kolonialis dan imperialis di kalangan pimpinan dan anggota PI semakin menonjol, apabila setelah ada seruan dari Presiden AS, Woodrow Wilson, mengenai hak untuk menentukan nasib bangsa sendiri. Tahun 1925 PI semakin tegas memasuki kancah politik, yang juga didorong juga oleh kebangkiatan nasionalisme di Asia – Afrika. Di samping itu, muncul kesadaran mewujudkan suatu pemerintahan untuk Indonesia, yang bertanggung jawab kepada rakyat Indonesia semata. 

Hal itu hanya bias dicapai oleh rakyat Indonesia sendiri tanpa mengharapkan bantuan siapapun dan pada prinsipnya menghindari perpecahan demi tercapainya tujuan. Dengan pemikiran yang demikian tegas, wajarlah apabila PI menjadi satuancaman terhadap kredibilitas pemerintah Belanda dalam menjalanjan kolonialismenya di Indonesia. Banyak kegiatan yang dilakukan oleh aktivis PI di Belanda maupun di luar negeri, diantaranya ikut serta dalam kongres Liga Demokrasi Perdamaian Internasional pada tahun 1926 di Paris. Dalam kongres itu Mohammad Hatta dengan tegas menyatakan tuntutan akan kemerdekaan Indonesia. 

Demikian pula pendapat-pendapat merekan banyak disampaikan ke tanah air. Aksi-aksi yang dilakukan menyebabkan mereka dituduh melakukan pemberontakan terhadap Belanda. Karena tuduhan penghasutan untuk pemberontakan terhadap Belanda, maka tahun 1927 tokoh-tokoh PI diantaranya M. Hatta, Nasir Pamuncak, Abdul Majid Djojonegoro dan Ali Sastroamidjojo ditangkap dan diadili. Dalam organisasi kepemudaan yang ada pada saat itu ada beberapa pemimpin yang mempunyai gagasan untuk merintis persatuan nasional seluruh masyarakat Indonesia. Mereka itu adalah M. Tabrani, Sumarto, Suwarso, Bahder Djohan, Jamaludin, Sarbaini, Yan Toule Soulehuwiy, Paul Pinontoan, Hamami, dan Sanusi Pane. 

Sebelumnya mereka mengadakan pertemuan untuk membahas gagasan tersebut da pada akhirnya diputuskan untuk menyelenggarakan Kongres Pemuda Indonesia Pertama. Kongres Pemuda I dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 30 April – 2 Mei 1926. Tujuan kongres adalah untuk menanamkan semangat kerja sama antar perkumpulan pemuda untuk menjadi dasar persatuan Indonesia dalam arti yang lebih luas. Usaha menggalang persatuan dan kesatuan dalam Kongres Pemuda I ini belum terwujud, karena rasa kedaerahan masih kuat. Sementara itu para pelajar di Jakarta dan Bandung melihat adanya dua kepentingan yang bertentangan dalam penjajahan, yang mereka sebut sebagai antithesis colonial yang sangat merugikan pihak Indonesia. 

Antithesis ini akan dihapus apabila penjajahan sudah lenyap. Untuk itu, maka para pelajar dari berbagai daerah pada bulan September 1926 mendirikan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) di Jakarta. PPPI memperjuangkan Indonesia merdeka. Pada tahun 1928 alam politik di Indonesia sudah dipenuhi oleh jiwa persatuan. Rasa kebangsaan dan cita-cita Indonesia merdeka telah menggema di jiwa para pemuda Indonesia. Atas inisiatif PPPI, maka diadakan Kongres Pemuda II di Jakarta, yang dihadiri oleh utusan organisasi-organisasi pemuda dan berhasil diikrarkan sumpah yang dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. 

Kongres Pemuda II diselenggarakan pada tanggal 27 – 28 Oktober 1928. Maksud dan tujuan Kongres Pemuda II ialah 

1). Hendak melahirkan cita-cita perkumpulan Pemuda Indonesia, 

2). Membicarakan masalah pergerakan Pemuda Indonesia, 

3). Memperkuat perasaan kebangsaan dan memperteguh persatuan Indonesia. Pada Kongres tersebut dikumandangkan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman, dan dikibarkan bendera Merah Putih yang dipandang sebagai bendera pusaka bangsa Indonesia. 

Peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 18 Oktober 1928 merupakan salah satu puncak Pergerakan Nasional, maka sampai sekarang peristiwa bersejarah ini diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda dan dimaknai sebagai lahirnya pergerakan Indonesia Muda.

Lahirnya Indonesia muda tidak lepas dari perjuangan PPPI yang didukung oleh organisasi kepemdaan yang ada dan telah mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi dan dibantu oleh seluruh rakyat Indonesia, karena pergerakan pemuda merupakan pergerakan rakyat dalam melawan penjajah. 

Perjuangan PPPI untuk menyatukan perkumpulan pemuda kedaerahan ke dalam perkumpulan pemuda yang bersuarakan kebangsaan Indonesia telah terealisasi dengan berdirinya Indonesia Muda. Dalam perjuangan tersebut tertuang cita-cita untuk kemerdekaan dan keagungan nusa dan bangsa juga diterima oleh pemuda pada khususnya inilah yang tercatat dalam sejarah Indonesia pada masa penjajahan pemerintah Hindia – Belahda. 

Posted by: Fazar Shiddieq Karimil Fathah