Minggu, 20 November 2011

Membangun Kota Berbudaya Literasi III

"Manuk hiber ku jangjangna jalma hirup ku akalna"
~Urang Sunda Proverbium~

(Gunakan akal dalam melangkah, buat apa Yang Maha Kuasa menciptakan akal kalau tidak digunakan sebagai mestinya).




Manajemen Simbol-Simbol Budaya Literat

Tampaklah bahwa modernisasi, khususnya pembangunan kota, memerlukan dukungan teks-teks yang ditata secara cerdas sebagai simbol literat pembangunan kota. Dengan demikian, perlu diciptakan manajemen profesional pembangunan kota yang memahami psikologis dan sosiologi teks-teks itu.

Moto-moto warisan Orde Baru seperti “Berhiber’ (Bersih, Hijau, Berbunga) ‘Berseka’ (Bersih, Sehat, Kayungyung), dan sebagainya mungkin diniati sebagai visi atau simbol literat pembangunan kota, walau teks-teks baru berfungsi sebagai janji gombal, bukannya amalan literat keseharian warga kota.

Moto-moto yang tertulis pada taksi tidak ada apa-apanya, manakala sopir taksi itu parkir sembarangan, melanggar aturan lalu-lintas, atau memperdaya penumpang. Bila ini terjadi, dan memang sering terjadi, inilah bukti kesenjangan pemahaman akan visi antara birokrat pemerintah daerah dan stakeholder lain. Ini bukti kegagalan komunikasi antara manajer pembangunan dan unsur-unsur marjinal: sopir taksi, pedagang kaki lima, petugas parkir, penyapu jalan dan lain sebagainya.

Visi memang harus alami, lentur, adaptif, komunikatif, dan diyakini Bersama, serta internalisasinya memerlukan waktu lama. Ini semua hanya mungkin terjadi bila semua stakeholder memiliki tingkat pendidikan yang memadai, yakni berbudaya literat untuk mengikuti alunan dan irama pembangunan kota.

Pembangunan literasi, dengan demikian harus mendahului pembangunan sektor-sektor lain.

Keberadaan lembaga-lembaga budaya literat seperti universitas, sekolah, Perpustakaan, museum, gelanggang remaja dan pusat-pusat kebudayaan adalah mutlak bagi pembangunan budaya literat demi pembangunan. Singkatnya, pembangunan budaya literat adalah peneratas jalan pembangunan manusia mulia yang berpendidikan, berperadaban, dan bernurani modernisasi.



Strategi Kota Banjar Menuju Kota Berbudaya Literasi

Bagaimana Kota Banjar Melahirkan Manusia-Manusia yang Paripurna

(Insan Kamil dan Rohmatan Lil alamin)

?

Berakhlakulkarimah

Menciptakan dan Mengembangkan Kota Berbudaya IPTEKS

?

Sumber:

Prof. H. Chaedar Alwasilah, M.A. Ph.D.

(Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia)

Jumat, 11 November 2011

Membangun Kota Berbudaya Literasi II






"There is creative reading as well as creative writing."
~Ralph Waldo Emerson~

Indikator Budaya Literat

Demokratisasi politik hanya dapat direalisasikan jika semua warga masyarakat memiliki budaya literat dengan tiga indikator berikut.

Pertama, seseorang disebut literat apabila ia memiliki pengetahuan dan keterampilan pokok untuk melibati segala kegiatan di lingkungan literatnya. Ia mesti tahu alamat dan nomor telepon kantor RT, RW, kantor polisi terdekat, tempat-tempat pengaduan masyarakat seperti layanan air minum, dan sebagainya. Iapun mesti mengetahui perkembangan mutakhir ihwal nama jalan, arah lalu lintas, dan agenda kegiatan kota.


Kedua, pengetahuan dan keterampilan literat itu diperlukan untuk berperan secara efektif dalam kelompok dan masyarakatnya. Seorang literat memiliki dua jenis ilmu pengetahuan dan keterampilan yaitu pengetahuan dan keterampilan literat umum (generic) seperti disebut di atas.

Sedang pengetahuan dan keterampilan literat khusus untuk berfungsi efektif demi karier dan profesi, seperti pengacara, pebisnis, pengajar, teknokrat, dokter dan sebagainya. Keterampilan profesional ini adalah bendera spesialisasi, dan spesialisasi adalah tulang punggung modernisasi. Dalam membangun bangsa , segala jenis pekerjaan seyogyanya ditangani mereka yang ahli dan disiapkan untuk pekerjaan itu. Tanpa dua keterampilan ini, tidaklah mungkin bagi seseorang untuk berpartisipasi secara penuh dalam pembangunan.

Ketiga, seorang literat memiliki kemampuan membaca, menulis dan aritmetika untuk memfasilitasi pembangunan diri dan masyarakatnya. Frase kunci di sini adalah memfasilitasi pembangunan, yakni apa yang ditulis dan dibaca (teks) itu mendukung pembangunan. Sebuah teks sebagai simbol literasi akan memfasilitasi pembangunan jika memenuhi empat syarat, fungsional, mudah terbaca, dipahami, dan tidak menyesatkan.

Agar berfungsi, secara fisik teks harus tetap dipertahankan. Misalnya, rambu-rambu lalu lintas, nama gedung, dan sebagainya adalah rambu-rambu budaya literat, karen itu harus diposisikan dalam konteks manajemen pembangunan kota. Agar mudah terbaca, teks ditampilkan dengan jenis dan ukuran huruf dan desain yang menarik dan komunikatif untuk memudahkan pejalan kaki maupun pengendara kendaraan bermotor.


Kemenarikan juga dapat dicapai dengan menampilkan sesuatu yang unik atau kekhasan lokal, misalnya di Yogyakarta dan Solo dengan menyertakan tulisan Jawa pada nama-nama jalan. Teks itu seyogyanya dimengerti anggota masyarakat sebagai pelibat pembangunan.

Iklan, pemberitahuan, atau pengumuman yang ditulis dalam bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, kurang mendukung pembangunan. Mereka tampil gaya tetapi tidak berdaya, dekoratif tetapi tidak komunikatif. Teks-teks demikian tampil pongah diskriminatif terhadap mayoritas anggota masyarakat literat sendiri.

Sementara ini kaum mayoritas (orang asing) yang dimanja sebagai tamu kota justru kurang suka dengan basa-basi ini. Kepongahan ini memperlihatkan lemahnya kepercayaan dan kebanggaan akan bahasa nasional. Sesungguhnya para turis asing harus ditantang untuk menguasai keterampilan literat fungsional sewaktu berinteraksi di Indonesia, dan tantangan literat ini justru merupakan satu pencerahan Intelektual dan bagian yang inheren dari wisata itu sendiri.


Informasi yang salah atau kadaluarsa sesungguhnya menghambat pembangunan. Peta kota, leaflet, brosur, buletin, dan barang cetakan sejenisnya yang kadaluarsa, misalnya, bukan hanya membodohi dan menyesatkan tapi juga memutuskan silaturahmi kebudayaan, dan me-nohok transaksi pembangunan kota. Teks-teks kadaluarsa seperti halnya makanan dan minuman kadaluarsa, seyogyanya segera dimusnahkan atau dimuseumkan.

Lalu bagaimana Kota Banjar akan mengembangkan budaya literasi ini?

To Be Continued

Sumber:

Prof. H. Chaedar Alwasilah, M.A. Ph.D.

(Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia)

Minggu, 06 November 2011

Membangun Kota Berbudaya Literasi


Daniella Jaladara adalah nama pena Heni, seorang penulis yang sedang naik daun dari kalangan Buruh Migran Indonesia Hong Kong.

Lahir di Ciamis, 2 Mei 1987, merupakan pendiri sekaligus direktur Abatasa Library and Learning Centre, Hong Kong. Menyelesaikan pendidikan formalnya di SMKN 1 Banjar, St. Mary’s University (Cum Laude, Salah Satu Lulusan Terbaik, dan Tercepat Menyelesaikan S1; 2,5 Tahun) dan Universitas 17-08-1945.

Ia telah menerbitkan buku kumpulan cerpen: Un Dans L’Éternité dan Senja di Pesisir Tsing Ma adalah kumpulan cerpen kedua. Karyanya juga tergabung dalam beberapa antologi di antaranya: Surat Berdarah Untuk Presiden dan Bicaralah Perempuan. Karya-karyanya sebagian besar bercerita tentang realitas kehidupan kaum pekerja migran. Tulisan lainnya tersebar di beberapa surat kabar dan majalah berbahasa Indonesia di Hongkong. Penghargaan yang pernah diperolehnya adalah:

Juara 1 se-Asia lomba menulis surat untuk presiden dan anugerah BISA
(Be Indonesian Smart and Active) Award.


Penulis bisa dihubungi di:

jaladara10@yahoo.com.hk.

Sejak kecil mengaku sudah belajar menulis.

“Aku belajar menulis sejak SD. Saat itu aku sangat suka membaca buku-bukunya N.H. Dini, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, dan lain lain.”

“Dari membaca tulisan mereka, meskipun saat itu aku tak mengerti keseluruhan tentang tulisan mereka, tapi buku-buku itu berhasil menginspirasiku untuk menulis dan membaca lebih banyak.” Kata Beliau

Sekarang Beliau tinggal di Pataruman Banjar.

Inilah Web Pribadi Beliau

a Little Journey .. a Big World



Bambang Achdiyat, S.Pd. adalah Guru, Motivator dan Penulis Belajar Menuju Ihsan. Lahir di Ciamis, lulusan Universitas Pendidikan Indonesia.


Mari Kita Membangun Kota Berbudaya Literasi

Pada tahun 1987 di Amerika Serikat terbit Cultural Literacy: What Every American Needs to Know karya ED Hirsch Jr dan The Closing of The American Mind karya Allan Bloom. Kedua buku best sellers ini secara kritis menunjukkan menurunnya tingkat literasi generasi muda Amerika dan perlunya tindakan korektif melalui pembenahan kurikulum language art dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Webster’s New Collegiate Dictionary menurunkan batasan literate sebagai orang yang berpendidikan, berbudaya mampu membaca dan menulis (1981:666). Ini satu kesaksian bahwa dalam tradisi Eropa, ciri orang yang berbudaya itu adalah keseimbangan antara kemampuan membaca dan menulis.

Dalam tradisi Indonesia, yang lebih berbudaya ucap-dengar ketimbang berbudaya baca-tulis, batasan literasi cenderung mengabaikan komponen menulis. Tidaklah aneh bahwasanya mayoritas ulama dan dosen di Indonesia tidak mampu menulis buku ajar.

Literacy, diindonesiakan sebagai melek huruf, kemampuan berbaca tulis, kemelekwacaan, atau literasi. Literasi mencakup kemampuan membaca petunjuk meminum obat, mengisi formulir lamaran kerja, sampai menganalisis sebuah artikel atau berita koran. Literasi sebagai sebuah pendidikan adalah kunci untuk mendapatkan akses politik dan fasilitas-fasilitas sosial.

Kecilnya anggaran pendidikan memberi kesan adanya kesengajaan untuk membodohkan sebagian rakyat demi kepentingan politik sang penguasa. Alasannya, orang pandai cenderung kritis, dan kritikan adalah kerikil tajam bagi penguasas otoriter. Sementara itu, rakyat bodoh adalah kerbau setia untuk dipasak hidung.

(To Be Continued)


Ucapan Terima Kasih:

Bapak Drs. Nanang Sudiana, M.Pd. Guru semasa SMA atas motivasinya untuk terus menulis. Great Teacher, selalu rindu atas pengajarannya yang asik banget.

Ibu Hj. Siti S.Pd. & Ibu Nani. S.Pd. Guru semasa SMP yang senantiasa memberikan akses membaca di perpustakaan, merekalah yang memberikan dorongan untuk melahap semua isi perpustakaan kala itu, terima kasih bunda-bunda ku.

Ibu Endang Mudji, yang senantiasa bersemangat mengajarkan pentingnya berbahasa.



Sumber:

Prof. H. Chaedar Alwasilah, M.A. Ph.D.

(Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia)

Selasa, 01 November 2011

Sekolah Alam Kota Banjar

"Bekerja Sesuai Kemampuan, Upah Sesuai Pekerjaan"
(Karsan, My Lovely Grandfather)

Kata kuncinya adalah KEMAMPUAN yang berarti penguasaan terhadap Keterampilan untuk menyelesaikan suatu masalah:

Kemampuan ini akan mencakup hal-hal di bawah ini

K = Knowledge
A = Attitude & Aptitude
S = Skill
E = Eksperience
T = Technique

Kemampuan tersebut dilengkapi dengan kemauan yang kuat dengan dasar tulus ikhlas.