Rabu, 29 Desember 2010

KMKB FC

TIM KMKB FC

Visi

Berolahraga dengan Sehat

Misi

Bermain Sepak Bola dan Futsal dengan Menyenangkan

Program

Bermain dan Bertanding supaya sehat serta gembira

Keluraga Besar KMKB

Dia menyayangi kita tapi bukan kekasih,

Dia perhatian terhadap mu tapi bukan keluarga kita,

Dia siap berbagi rasa sakit tapi dia tidak berhubungan darah dengan kita

Dia adalah... Sahabatmu ...!!Sahabat sejati..

Marah seperti Ayah!

Peduli seperti Ibu!

Mengganggu seperti Kakak!

Mengesalkan seperti Adik!

Dan terakhir menyayangimu lebih dari kekasih

Percayalah tiada kata perceraian dan perpisahan dalam Kekeluargaan

dalam persahabatan

Selamat tahun baru dari Kami, Tetap Semangat, Optimis, Bahagian dan

Kita Bisa

Minggu, 26 Desember 2010

Universitas Stanford

Penelitian Pendidikan di Universitas Stanford



"I Love learning"
by: Arip Nurahman


T


Teacher Community|Hilda Borko | Pam Grossman | Aki Murata |

Teacher Education and Certification|Arnetha F Ball | Hilda Borko |
Linda Darling-Hammond | Pam Grossman | Michael Kamil | Ira Lit |
Susanna Loeb | Rachel Lotan | Roy Pea |


Teacher Labor Markets|Martin Carnoy | Linda Darling-Hammond | Susanna Loeb |

Teachers and Teachers' Unions|Linda Darling-Hammond | Susanna Loeb |

Teaching and Learning History|Sam Wineburg |

Technology and Literacy|Michael Kamil | John Willinsky |

Technology in Teaching and Learning|Anthony Bryk | Shelley Goldman |
Michael Kamil | Roy Pea | Daniel Schwartz |

Testing|Linda Darling-Hammond | Edward Haertel | John Krumboltz |


U


Urban Education|Maren Aukerman | Arnetha F Ball | Prudence L. Carter |
Linda Darling-Hammond | Ray McDermott | Nailah Suad Nasir |


V


Virtual Classroom|Roy Pea |
Vouchers / School Choice|Martin Carnoy |



W


Women and Management / Work|Debra Meyerson |

Women in Science|Christine Min Wotipka |

Writing|Arnetha F Ball | Roy Pea |


Y


Youth Development and Organizations|Teresa LaFromboise | Daniel McFarland |
Debra Meyerson | Nailah Suad Nasir |

Minggu, 12 Desember 2010

Buat Apa Sekolah?


BUAT APA SEKOLAH?

Oleh:
Muhammad Khairul Idaman

ditambah dan diedit ulang oleh:

Arip Nurahman
Indonesia University of Education

A school (from Greek σχολεον - scholeion) is an institution designed to allow and encourage students (or "pupils") to learn, under the supervision of teachers. Most countries have systems of formal education, which is commonly compulsory. In these systems, students progress through a series of schools. The names for these schools vary by country (discussed in the Regional section below), but generally include primary school for young children and secondary school for teenagers who have completed primary education.

In addition to these core schools, students in a given country may also have access to and attend schools both before and after primary and secondary education. Kindergarten or pre-school provide some schooling to very young children (typically ages 3-5). University, vocational school, college or seminary may be available after (or in lieu of) secondary school. A school may also be dedicated to one particular field, such as a school of economics or a school of dance. Alternative schools may provide nontraditional curriculum and methods.



Seorang ibu berkata pada anaknya" nak kalau sudah besar kamu harus jadi pegawai negeri sipil (PNS) biar hidupmu tidak susah, jangan meniru bapak dan ibumu yang tiap hari harus jualan sayur kepasar, biar bapak dan ibu saja yang bodoh dan susah cari uang liat tetangga kita itu sekolahannya tinggi coba lihat hidupnya enak kamu harus mencontoh dia" . Sementara dilain pihak seorang ibu berkata " buat apa sekolah tinggi-tinggi ? dokter sudah ada, menteri sudah ada, guru banyak, presiden sudah ada, mendingan uang sekolahmu dibelikan sapi biar beranak-pinak lebih jelas hasilnya dari pada harus dibayarkan untuk sekolah, coba lihat si lukman itu sekolah jauh-jauh tapi setelah selesai nganggur dan akhirnya sekarang jadi sopir anggutan.." !

Sadar atau tidak, ditingkatan masyarakat opini yang terbangun mengenai dunia pendidikan (sekolah) seperti yang diilustrasikan diatas. Masyarakat menilai bahwa salah satu alat keberhasilan seseorang bersekolah adalah sejauh mana dia mampu membawa dirinya pada status social yang tinggi dimasyarakat indikasinya adalah apakah seseorang itu bekerja dengan berpenampilan elegan (berdasi, pake sepatu mengkilap, dan membawa tas kantor) atau tidak, dan apakah seseorang tersebut bisa kaya dengan pekerjaannya? Kalau seseorang yang telah menempuh jenjang pendidikan (SLTA, D1, D2, D3, S1, S2, dan S3) lulus dan setelah itu menganggur maka dia telah gagal bersekolah. Hal semacam inilah yang sering ditemui di masyarakat kita.

Mencermati hal diatas, apakah memang praktek-praktek pendidikan yang selama ini dijalani ada kesalahan proses?, mengapa dunia pendidikan belum bisa memberikan pengaruh pencerahan ditingkatan masyarakat, lantas apa yang selama ini dilakukannya oleh dunia pendidikan kita? kalaupun yang diopinikan masyarakat itu adalah kesalahan berpikir, mengapa kualitas pendidikan di Indonesia tidak lebih baik dari negara lainnya, bukankah setiap hari upaya perbaikan pendidikan terus dilakukan mulai dari seminar sampai dengan pembuatan undang-undang system pendidikan nasional? Atau inilah yang dimaksud oleh Ivan Ilich bahwa "SEKOLAH itu lebih berbahaya daripada nuklir. Ia adalah candu! Bebaskan warga dari sekolah."

Jelasnya pendidikan (sekolah) bukanlah suatu proses untuk mempersiapkan manusia-manusia penghuni pabrik, berpenampilan elegan apalagi hanya sebatas regenerasi pegawai negeri sipil (PNS), tapi lebih dari itu adalah pendidikan merupakan upaya bagaimana memanusiakan manusia. Tentunya proses tersebut bukan hal yang sederhana butuh komitmen yang kuat dari setiap komponen pendidikan khusunya pemerintah bagaimana memposisikan pendidikan sebagai inventasi jangka panjang dengan produk manusia-manusia masa depan yang hadal, kritis dan bertanggung jawab. Kalau dunia pendidikan hanya diposisikan sebagai pelengkap dunia industri maka bisa jadi manusia-manusia Indonesia kedepan adalah manusia yang kapitalistik, coba perhatikan menjelang masa-masa penerimaan siswa/mahasiswa tahun ajaran baru dipinggir jalan sering kita temukan mulai dari spanduk, baliho, liflet, brosur, pamlet dan stiker yang bertuliskan slogan yang kapitalistik seperti " lulus dijamin langsung kerja, kalau tidak uang kembali 100%, adapula yang bertuliskan "sekolah hanya untuk bekerja, disini tempatnya" apalagi banyaknya sekolah-sekolah yang bergaya industri semakin memperparah citra dunia pendidikan yang cenderung lebih berorientasi pada pengakumulasian modal daripada pemenuhan kualitas pelayanan akademik yang diberikan. Akhirnya terlihat dengan jelas bagaimana mutu SDM Indonesia yang jauh dari harapan seperti dilaporkan oleh studi UNDP tahun 2000 yang menyatakan bahwa Human Development Indeks (HDI) Indonesia menempati urutan ke 109 dari 174 negara atau data tahun 2001 menempati urutan ke 102 dari 162 negara.

Jadi, tidak mengherankan kalau ditingkatan masyarakat memandang dunia pendidikan (sekolah) sampai hari ini seperti layaknya sebagai institusi penyalur pegawai negeri sipil (PNS) indikasi dari pandangangan tersebut bisa dilihat bagaimana animo masyarakat yang cukup tinggi ketika pembukaan pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS) seolah-olah status/gelar akademik yang mereka capai (D1,D2,D3,S1,S2, dan S3) hanya cocok untuk kerja-kerja kantoran (PNS) hal inipun merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingkat pengangguran kaum terdidik setiap tahunnya bertambah sebab kesalahan motiv sekolah sebagai akibat dari prilaku sekolah yang kapitalistik akhirnya banyak melahirkan kaum terdidik yang bermentalitas "Gengsi gede-gedean"

Beberapa hal diatas setidaknya menjadi renungan bagi dunia pendidikan kita bahwa pendidikan bukanlah sesederhana dengan hanya mengupulkan orang lantas diceramahi setelah itu pulang kerumah mengerjakan tugas besoknya kesekolah lagi sampai kelulusan dicapainya (sekolah berbasis jalan tol), kalau aktivitas sekolah hanya monoton semacam ini maka pilihan untuk bersekolah merupakan pilihan yang sangat merugikan akan tetapi kalau proses yang dijalankannya tidak seperti sekolah jalan tol maka pilihan untuk beinvestasi di dunia pendidikan dengan jalan menyekolahkan anak-anak kita merupakan pilihan yang sangat cerdas. Oleh sebab itu sudah saatnya dunia pendidikan kita mereformasi diri secara serius khusunya bagaimana pembelajaran di sekolah itu bisa dijalankan melalui prinsip penyadaran kritis sehingga melalui kekuatan kesadaran kritis bisa menganalisis, mengaitkan bahkan menyimpulkan bahwa persoalan kemiskinan, pengangguran, dan lainnya merupakan persoalan system bukan karena persoalan jenjang sekolah. Inilah yang seharusnya menjadi muatan penting untuk diinternalisasikan disetiap diri siswa.

Selain itu, mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa sekolah itu tidak sekedar tahapan untuk bekerja kantoran menjadi salah satu agenda dunia pendidikan yang harus segera dilakukan sehingga masyarakatpun bisa memahami secara holistik untuk apa pendidikan itu dilahirkan. Agenda semacam ini akan bisa dijalankan secara baik kalau masing-masing insitusi pendidikan bertindak secara fair bagaimana proses penerimaan siswa baru tidak lagi memakai slogan yang menyesatkan. Mempertahankan sekolah yang kapitalistik sama saja menggerogoti minat dan motivasi masyarakat untuk turut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.




Masih Perlukah Sekolah?

Oleh:Tabrani Yunis

(Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh)

Tidak satupun di antara kita, para pembaca yang mengatakan bahwa sekolah itu tidak penting. Pasti, kita sependapat bahwa sekolah itu penting. Karena sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dipercaya sebagai lembaga yang menyiapkan masa depan kita dan anak cucu kita untuk meraih masa depan yang gemilang. Karena sekolah itu penting dan perlu bagi masa depan anak-anak, maka kalau ada anak – anak yang putus sekolah, ya bisa berabe. Anak-anak akan kehilangan masa depan.. Kalau tidak sekolah, maka masa depan pun suram. Kalau tidak sekolah, maka anak-anak kita akan menjadi gelandangan (walau sekarang sarjana saja menganggur). Barangkali, para pembaca masih ingat ketika Mandra mempromosikan sekolah dalam pariwara “AYO SEKOLAH” yang disponsori oleh UNICEF beberapa tahun lalu. Ungkapan Mandra itu masih segar terngiang. Katanya begini, “ Jangan sampai putus sekolah……….kalau putus sekolah bisa berabe. Begitulah pentingnya posisi sekolah bagi anak-anak kita. Oleh sebab itu, wajar kalau masyarakat kita sangat menggantungkan harapan masa depan anak terhadap sekolah. Seakan sekolah adalah dewa penyelamat bagi sebuah kehidupan yang lebih baik bagi masa depan anak-anak kita. Mungkin bukanlah hal yang keliru kalau Roem Topatimasang pada tahun 1998 menyebutkan “Sekolah itu Candu”. Roem mengkritik eksistensi sekolah yang telah menjadi tumpuan harapan kita itu. Kalau sekolah menjadi candu, kita bisa bayangkan bagaimana kala kita kecanduan. Ini yang namanya berabe bukan?

Ya, mungkin berabe. Tetapi semakin berabe, tatkala sekolah yang selama ini kita harapkan mampu membangun masa depan yang cerah dan gemilang bagi anak cucu kita, dalam realitasnya sangat jauh berbeda. Agaknya, kita terlalu menggantungkan harapan besar terhadap sekolah. Padahal sekolah kita saat ini sangatlah tidak berdaya. Sekolah kita sangat terseok-seok. Sekolah kita sedang sakit, bahkan berada pada kondisi yang sekarat. Karena sekolah dihimpit oleh berbagai persoalan yang mendasar, mulai dari persoalan kualitas dan kuantitas guru, peralatan, kurikulum serta manajemen sekolah yang amburadul, yang bermuara pada rendahnya kualitas intelektual anak-anak kita. Nah, kalau begini kondisi sekolah kita, bagaimana sekolah mampu membangun masa depan anak cucu kita yang gemilang? Sangat tidak mungkin bukan ?

Ironisnya, ketika kondisi sekolah kita kini banyak yang impotent, berkualitas rendah untuk melahirkan lulusan-lulusan yang ideal, kebanyakan kepala sekolah, terutama sekolah-sekolah yang sudah terlanjur dilabelkan dengan status favorit atau sejenisnya, sering kelihatan pongah dan bangga,karena capaian angka UAN tinggi. Para pejabat pendidikan di dinas pendidikan dan Depdiknas banyak pun ikut syur (birahinya naik) dengan hasil (baca angka) yang dicapai oleh anak-anak usai Ujian Nasional (UN) digelar. Seakan-akan semua angka tinggi yang diraih anak didik adalah hasil dari kerja keras sekolah. Padahal, capaian itu tidak semata-mata diraih oleh keberhasilan sekolah. Kepala sekolah dan pejabat dinas pendidikan selayaknya tidak mengklaim kalau hasil (angka yang belum tentu diperoleh dengan jujur itu) adalah sebuah keberhasilan sekolah. Karena dalam realitas kontemporer, sekolah saja kini tidak cukup. Karena kebanyakan sekolah di daerah kita maupun di Indonesia kini telah gagal memanusiakan peserta didik. Jangankan untuk memanusiakan peserta didik, untuk memperoleh nilai UN saja banyak sekolah yang tidak mampu.

Bimbel Masuk Sekolah

Kepala sekolah, guru, pejabat atau birokrat pendidikan akan kebakaran jenggot atau marah, apabila dikatakan bahwa sekolah telah gagal untuk menyiapkan masa depan anak didik yang gemilang. Mereka pasti akan membantah. Tentu saja tidak jadi masalah. Kita bisa menggunakan banyak alat ukur untuk membuktikan kegagalan tersebut. Salah satu indicator kegagalan sekolah menyiapkan peserta didik menjadi manusia yang cerdas dan berkualitas bisa diukur dengan muncul lembaga-lembaga pendidikan non formal di dalam masyarakat. Ketika sekolah gagal mengajarkan bahasa Inggris di sekolah, orang tua terpaksa mengeluarkan dana ekstra untuk mengantarkan anak-anak mereka ke kursur bahasa Inggris. Ketika sekolah gagal membuat peserta didik bisa terampil dengan matematika, fisika dan biologi, maka orang tua harus mengantarkan anak-anak mereka ke kursus matematika, fisika, kimia dan biologi. Ketika sekolah gagal mengajarkan pelajaran akuntansi dan lainhya, maka orang tua, sekali lagi harus mengantarkan anak-anak mereka ke kursus-kursus. Kegagalan sekolah ini kemudian dimanfaatkan oleh lembaga pendidikan non formal. Walaupun kursus mahal dan waktu belajar lebih pendek dibandingkan dengan waktu di sekolah, lembaga –lembaga ini dari waktu ke waktu terus tumbuh menjamur. Biaya mahal tidak begitu dipersoalkan, asal nilai anak setelah ujian nasional tetap tinggi. Yang penting nilai tiga mata pelajaran yang diuji dengan standard nilai yang sudah ditetapkan bisa tercapai.

Nah ketika pemerintah terus menaikkan standard kelulusan ujian nasional (UN), sekolah-sekolah menjadi kalangkabut. Sekolah-sekolah semakin kehilangan rasa percaya diri. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kulaitas sekolah dan juga semakin rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap sekolah. Ujian nasional di satu sisi dapat dijadikan sebagai pemantik peningkatan kualitas sekolah (peserta didik). Namun di sisi lain, ujian nasional (UN) menjadi sesuatu yang menakutkan. Ujian nasional menjadi tujuan, bukan sesuatu yang dijadikan sebagai alat evaluasi saja. Banyak sekolah yang tidak mampu menyiapkan anak didik untuk bisa mencapai angka atau standar kelulusan yang ditetapkan oleh pemerintah. Akibatnya, peserta didik, orang tua, bahkan guru di sekolah berpaling untuk mengirimkan anak-anak (peserta didik) ke lembaga Bimbingan Belajar.

Kehadiran lembaga bimbingan belajar yang kini menjamur di seluruh Indonesia, bukan lagi sebagai sebuah alternatif bagi anak-anak, tetapi sudah menjadi sekolah kedua dan bahkan utama. Karena lembaga bimbingan belajar dipandang mampu menjawab persoalan peserta didik dalam menghadapi ujian nasional. Celaka bukan ? Inilah realitas dunia pendidikan formal kita saat ini, yang harus segera menjadi perhatian setiap orang, tertama mereka para pejabat yang memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Kehadiran banyak lembaga bimbingan belajar (Bimbel) di dalam masyarakat kita akhir-akhir ini, pada dasarnya dapat menjadi sebuah alternatif bagi peserta didik yang menghadapi kesulitan belajar di sekolah. Namun, sangat disayangkan bahwa lembaga bimbingan belajar tersebut bukan saja membuka praktek di luar sekolah. Akan tetapi sejak beberapa tahun yang lalu, banyak sekolah yang mengundang dan menggunakan jasa lembaga bimbingan belajar untuk mendongkrak kualitas lulusan sekolah. Untuk kota Banda Aceh, hal ini banyak dilakukan oleh sekolah-sekolah yang sudah terlanjur difavoritkan yakni SMA-SMA yang dijuluki sebagai sekolah favorit. Caranya adalah dengan membuka program belajar pada sore hari di sekolah. Fenomena ini, terjadi di banyak kota, terutama kota besar. Majalah Tempo edisi 26 Maret-1 April 2007 di halam 76 menuliskan “ banyak sekolah menggandeng lembaga bimbingan belajar untuk membantu siswa menghadapi ujian nasional. Hasilnya tak selalu meyakinkan. Lembaga ini semakin beken di kalangan siswa dan guru sekolah. Dulu lembaga semacam ini hanya digunakan siswa SMA untuk membantu persiapan ujian masuk perguruan tinggi negeri.Kini, bimbingan belajar juga menjadi semacam obat penangkal kecemasan menghadapi ujian nasional. Tak cuma siswa SMA tetapi juga siswa SMP. Begitu popularnya lembaga bimbingan belajar saat ini.

Nah, ketika sekolah semakin loyo dan tidak mampu menyiapkan peserta didik menghadapi ujian nasional yang setiap tahun semakin meningkat standardnya. Saat sekolah sudah tidak berdaya menyiapkan peserta didik menjadi manusia Indonesia yang cerdas. Kini telah hadir bimbingan belajar yang menjawab persoalan dan kebutuhan peserta didik dan keinginan orang tua yang mengejar angka. Kehadiran lembaga ini kian menjamur dan bahkan langsung mengintervensi sekolah. Bertumbuh kembangnya lembaga bimbingan belajar di satu sisi memang sangat baik,karena bisa dijadikan sebagai alternatif bagi para peserta didik. Namun, kala bimbingan belajar kini menjadi “pelipur lara”bagi peserta didik dan orang tua, maka pertanyaan kita, apakah kita masih membutuhkan sekolah ?

Selayaknya, para praktisi pendidikan di sekolah seperti guru dan kepala sekolah, para birokrat pendidikan yang bersinggsana di Dinas pendidikan kota dan provinsi, secepatnya melakukan introspeksi. Secepatnya memperbaiki citra sekolah dengan meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini perlu, agar masyarakat tidak dibebani oleh kegagalan sekolah dalam menyiapkan peserta didik. Secepatnya para ahli pendidikan yang ada di Dinas Pendidikan kota dan Dinas Propinsi turun tangan menangani pendidikan secara sungguh-sungguh dan selalu committed terhadap pencapaian visi pendidikan yang sudah disusun dalam strategic planning yang sudah disusun oleh Dinas pendidikan. Apabila hal ini tidak diperbaiki, sebaiknya sekolah kita tutup. Kita pun merasa kasihan terhadap peserta didik dan orang tua yang tidak mampu mengantarkan anak ke lembaga bimbingan belajar karena tidak mampu membayar biaya bimbingan belajar yang cukup besar. Kondisi ini akan berbahaya bagi dunia pendidikan kita. Semoga saja, para birokrat pendidikan kita mau membuka mata.

Semoga Bermanfaat dan Terima Kasih.

Sumber: dari berbagai sumber

Selasa, 07 Desember 2010

Membumikan dan Mengembangkan Pendidikan Teknologi Dasar (PTD)

Sumber: Bpk. Dr. Didi Teguh Chandra, M.Si.

Dosen di Jur.Pend. Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia 
Judul Artikel: Selayang pandang Pendidikan Teknologi Dasar (PTD) di SLTP di Indonesia 
Topik: Pendidikan Teknologi Dasar (PTD) bagi siswa SLTP 
e-mail: btetb@bdg.centrin.net.id

 



Technology is a broad concept that deals with human as well as other animal species' usage and knowledge of tools and crafts, and how it affects a species' ability to control and adapt to its environment. Technology is a term with origins in the Greek technología (τεχνολογία) — téchnē (τέχνη), 'craft' and -logía (-λογία), the study of something, or the branch of knowledge of a discipline. However, a strict definition is elusive; "technology" can refer to material objects of use to humanity, such as machines, hardware or utensils, but can also encompass broader themes, including systems, methods oforganization, and techniques. The term can either be applied generally or to specific areas: examples include "construction technology", "medical technology", or "state-of-the-art technology".
The human species' use of technology began with the conversion of natural resources into simple tools. The prehistorical discovery of the ability to control fire increased the available sources of food and the invention of the wheel helped humans in travelling in and controlling their environment. Recent technological developments, including the printing press, the telephone, and the Internet, have lessened physical barriers to communication and allowed humans to interact freely on a global scale. However, not all technology has been used for peaceful purposes; the development of weapons of ever-increasing destructive power has progressed throughout history, from clubs to nuclear weapons.

Technology has affected society and its surroundings in a number of ways. In many societies, technology has helped develop more advancedeconomies (including today's global economy) and has allowed the rise of a leisure class. Many technological processes produce unwanted by-products, known as pollution, and deplete natural resources, to the detriment of the Earth and its environment. Various implementations of technology influence the values of a society and new technology often raises new ethical questions. Examples include the rise of the notion of efficiency in terms of human productivity, a term originally applied only to machines, and the challenge of traditional norms.

Philosophical debates have arisen over the present and future use of technology in society, with disagreements over whether technology improves the human condition or worsens it. Neo-Luddism, anarcho-primitivism, and similar movements criticise the pervasiveness of technology in the modern world, opining that it harms the environment and alienates people; proponents of ideologies such as transhumanism and techno-progressivism view continued technological progress as beneficial to society and the human condition. Indeed, until recently, it was believed that the development of technology was restricted only to human beings, but recent scientific studies indicate that other primates and certain dolphin communities have developed simple tools and learned to pass their knowledge to other generations.


Selayang pandang Pendidikan Teknologi Dasar (PTD) di SLTP di Indonesia

ABSTRACT
Seperti kita ketahui saat ini, terasa atau tidak terasa, suka atau tidak suka, kita sedang terbawa oleh perubahan zaman yang sangat besar yang menyangkut segala aspek kehidupan menuju suatu era yang disebut dengan era globalisasi. Sejauh mana kita berperan serta dalam era globalisasi tersebut.
Sebenarnya yang diinginkan bangsa Indonesia adalah kita sebagai bangsa yang besar harus dapat berperan serta positif dalam era globalisasi ini, kita tidak ingin hanya menjadi obyek dan bulan-bulanan bangsa lain.Oleh sebab itu kita harus mempersiapkan diri sedini mungkin untuk menyongsong era tersebut, salah satu alternatif adalah mempersiapkan sumber daya manusia melalui proses pendidikan. Jadi masalah utama yang harus dijawab dalam adalah model pengajaran apa yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam rangka menyongsong era globalisasi. Salah satu alternatif adalah memperkenalkan IPTEK secara dini dalam pendidikan formal karena siswa-siswi kita adalah sumber daya manusia dimasa yang akan datang.
A. Pendahuluan.

Basic Technology Education atau Pendidikan Dasar Teknologi merupakan materi pelajaran yang mengacu pada bidang IPTEK, dimana siswa diberi kesempatan untuk membahas dan mempelajari masalah teknologi di masyarakat, memahami dan menangani peralatan teknologi serta membuat produk teknologi sederhana melalui kegiatan merancang, membuat, menggunakan dan menganalisa dengan menggunakan metoda pemecahan masalah .
Kompetensi-kompetensi seperti mampu memecahkan masalah, mampu berpikir alternatif dan mampu mengevaluasi sendiri hasil pekerjaannya, dapat dikembangkan melalui BTE. Artinya BTE dapat mempersiapkan peserta didik memiliki kemampuan khusus agar dapat bekerja mandiri dalam kebersamaan serta berhasil di masa depannya.
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, kita akan dihadapkan pada perubahan dan perkembangan IPTEK yang sangat cepat, demikian juga halnya dengan kebudayaan juga akan berkembang seiring dengan perkembangan IPTEK. Menghadapi keadaan ini masyarakat perlu diarahkan pada sikap "sadar teknologi" atau "melek teknologi".
Oleh karena itu langkah yang paling baik adalah IPTEK perlu diperkenalkan secara dini melalui pendidikan formal. Sehingga sangat relevan jika Pendidikan Teknologi Dasar diperkenalkan di sekolah khususnya SLTP, karena para siswa-siswi kita adalah aset sember daya manusia di masa yang akan datang. Melalui kegiatan Pendidikan Teknologi Dasar para tamatannya dapat lebih menyadari masalah teknologi seperti mamapu menangani produk teknologi, mampu membuat produk teknologi sederhana serta dapat menyadari bahwa produk teknologi sangat erat erat kainnya dengan masyarakat. Selain itu para siswa-siswi memiliki motivasi yang kuat untuk mempelajari teknologi lebih lanjut, misal sampai perguruan tinggi.
Di negara-negara yang telah maju seperti Amerika, Inggris, Jerman, Belanda, Australia, Belgia dan sebagainya, pendidikan teknologi sudah diperkenalkan sejak akhir dasa warsa yang lalu dan saat ini telah dijadikan bagian dari kurikulum pokok pada sekolah dasar dan sekolah lanjutan, selain itu di Afrika Selatan sudah dipersiapkan kurikulum yang disebut "kurikulum Afrika Selatan menuju tahun 2005" dan memasukkan pendidikan teknologi sebagai mata pelajaran pokok.
Di Indonesia sebenarnya telah ada gagasan untuk memperkenalkan pendidikan teknologi sebagai mata pelajaran yang terpisah, yaitu pada saat penyuusunan kurikulum tahun 1990-1991, tetapi akhirnya diputuskan oleh pemerintah, bahwa teknologi diintegrasikan kedalam mata pelajaran yang sudah ada seperti Fisika, Kimia, Biologi dan sebagainya seperti yang kita lihat dalam kurikulum tahun 1994, misanya seperti pada mata pelajaran IPA telah diperkenalkan kegiayan merancang dan membuat dengan mengaplikasikan konsep Fisika dengan kebutuhan siswa di masyarakat. Di SLTP terdapat 10 %-15 % kegiatan teknologi dalam bentuk merancang dan membuat.
Pada saat ini di Indonesia Pendidikan Teknologi Dasar (BTE) mulai diperkenalkan dalam mata pelajaran yang terpisah dan masih merupakan proyek rintisan dan percontohan, kegiatan ini di perkenalkan di Indonesia atas kerjasam . Departement Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia dan Departement Pendidikana dan Kebudayaan pemerintah Kerajaan Belanda, secara operasional kegiatan ini di laksanakan oleh SLO ( Pusat kurikulum Belanda ) dan Direktorat Sekolah Swasta ( Ditsiswa ) Depdikbud Indonesia. Dan di tunjuk 4 sekolah swasta percontohan yaitu SLTP Taruna Bakti Bandung, SLTP Al-Kautsar Bandar Lampung, SLTP Hang Tuah Ujung Pandang dan SLTP Katolik Ambon, semua nya adalah SLTP_SLTP swasta. Kurikulumnya dikembangkan oleh Balitbang Depdikbud, PPPG teknologi Bandung dan SLO ( Pusat Kurikulum Belanda ), sedangakan pengembangan materi dan metodeloginya dilakukan oleh PPPG Teknologi Bandung bekerja sama dengan Hoogeschool Van Utrecht ( Hvu ) Belanda.
B. Peluang Pendidikan Teknologi Dasar dalam Kurikulum SLTP Tahun 1994
( Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 ).

Dalam era globalisasi, yang seperti telah dicanangkan oleh Presiden terdahulu bahwa Indonesia tahun 2003 - 2010akan memasuki pasar bebas, diaman setiap orang dapat melakukan aktifitas di Indonesia dengan kompetisi objektif, tanpa melihat asal usul kewarga negaraannya, hal itu berarti siap tidak siap, suka tidak suka, mau tidak mau semua masyarakat Indonesia harus berhadapan dan terlibat langsung dengan perkembangan Ilmu Perngetahuan dan Tenologi ( IPTEK ) yang sangat pesat, bagaikan "Air Bah" yang dapat menerjang siapa saja.
Kondisi terssebut dapat memberi peluang yang sanagt besar bagi kita, tetapi juga dapat menimbulkan tantangan yang besar pula. Hanya saja tantangan yang besar itu jangann sampai menjadi ancaman, karen kita bangsa Indonesia tidak mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.
Untuk mengantisipasi keadaaan itu, pemerintah sejak tahun 1984 telah wajib belajar sembilan tahun oleh presiden Soeharto waktu itu, sehingga pada tahun 2003 di harapkan masyarakat Indonesia serendah-rendahnya berpendidikan SLTP.Pada kondisi tersebut, merupakan tonggak yang amat kritis karena ke majuan negara sangat bergantung kepda kwalitas sumber daya manusianya agar kita dapat bersaing secara global dengan cara kompotitf atau kooperatif.
Selain itu masyarakat indonesia harus "melek teknologi" (sadar teknologi), sehingga wawasan IPTEK perlu diperkenalkan secara dini kepada para siswa-siswi kita. Persoalannya sekarang adalah, apakah sistimm pendidikan yang sudah ada sekarang memungkinkan dapat meningkatkan wawasan IPTEK siswa ?, Apakah masih ada peluang lain untuk meningkatkan wawasan IPTEK siswa ?.
Kita tinjau kurikulum tentang Pendidikan Dasar yang telah disiapkan oleh pemerintah, dalam buku kurikulum pendidikan tahun 1994 tentang Pendidikan Dasar, penyajian mata pelajaran dimaksudkan agar lulusannya memperoleh bekal kemampuan dasar untuk mengembangkan kehidupan sebagai pribadi, warga negara dan anggota masyarakat serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah (PP no 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar).
Selanjutnya dalam buku Kurikulum Pendidikan Dasar : Landasan, Program dan Pengembangan dijelaskan bahwa "Kurikulum di SLTP lebih menekankan pada kemampuan siswa untuk menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan lingkungan. Pengauasaan tersebut akan memudahkan siswa untuk mengembangkan kemampuannya secara bertahap seperti berpikir teratur, kritis dalam memecahkan masalah sederhana serta sanggup bersikap mandiri dalam kebersamnaan" makna dari ungkapan tersebut diatas, mengisaratkan bahwa peluang memperkenalkan wawasan IPTEK sudah tersirat dalam kurikulum tahun 1994 dan wawasan IPTEK sudah seharusnya mulai diperkenalkan sjak di SLTP.
C. Apa Pendidikan Teknologi Dasar itu ?

Pendidikan Teknologi Dasar menurut HJ. Grover dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk massa depan yang memberi anak-anak muda kesempatan untuk mempelajari berbagai jenis bahan, proses, produk industri dan permasalahan yang berhubungan dengan kehidupan dan pekerjaan dalam dunia teknologi (SLO, basic Technology Education, Nov. 1995). Definisi secara acurat sulit untuk diberikan karena teknologi berubah secara cepat.
Pendidikan Teknologi Dasar bertujuan memperkenalkan dan membiasakan para siswa-siswi terhadap dunia teknologi dengan aspek-aspek penting yang memungkinkan siswa dapat : 1. Mengembangkan berpikir kritis terhadap teknologi. 2. Mengembangkan kemampuan berpendapat tentang teknologi dan mampu menggambarkannya pada orang lain. 3. Mengidentifikasi dampak teknologi baik yang positif maupun yang negatif terhadap masyarakat dan lingkungan. 4. Memiliki wawasan dalam memilih profesi dalam bidang teknologi sehingga memiliki peran yang berarti di dalam masyarakat. 5. Memiliki motivasi untuk belajar lebih lanjut tentang teknologi. 6. Membiasakan diri bekerja sendiri dalam kebersamaan.
Teknologi bagi setiap anak dan masyarakat tidaklah sama, sebagai contoh anak yang berada di Jakarta mempunyai pandangan tentang teknologi yang sangat berbeda dengan anak yang berada di kota Menado, akan tetapi adan teknologi yang bersifat umum. Selain itu pada saat ini dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat anak akan mempunyai pandangan dasar tentang teknologi yang hampir sama dan menyadari bahwa teknologi berkembang sangat pesat.
Dalam pendidikan teknologi dasar setiap siswa akan memperoleh pengetahuan dan pemahaman terhadap tiga pilar teknologi yaitu :

1. Penangan produk teknologi.

Para siswa dapat menggunakan produk teknologi secara tepat dan benar, baik berupa alat untuk memproduksi, maupun alat-alat ukur (instrumen), sehingga memberi kesempatan kepada para siswa untuk memahami kemampuan dan minatnya dalam bidang teknologi. Pada bagian ini para siswa belajar tentang teknologi dengan praktek dan praktikum dengan metoda pemecahan masalah dan pendekatan sistim.

2. Pembuatan produk teknik.

Para siswa diharapkan dapat menyadari bahwa teknologi sebagai suatu proses kegiatan yang dapat membuat sesuatu benda kerja yang dapat berfungsi dan bermanfaat baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.Dalam bagian ini para siswa belajar bagaimana membuat produk teknik atau benda kerja yang dapat berfungsi dengan cara terlibat selama proses pembuatannya dan menggunakan produk teknologi sebagai alatnya. Benda yang dibuat oleh siswa adalah benda yang dapat berfungsi karena benda yang berfungsi akan memberikan motivasi yang tinggi pada diri para siswa untuk belajar lebih lanjut. Pada bagian ini para siswa akan belajar teknologi dasar dengan metoda : alur produksi, kunjungan industri, pemecahan masalahdan pendekatan sistim.

3. Teknologi dan masyarakat.

Teknologi sebagai suatu alat untuk memecahkan permasalahan manusia. Disini terdapat hubungan yang erat antara teknologi dengan ilmu pengetahuan lain di dalam masyarakat. Pada bagian ini para siswa belajar dengan metoda kunjungan industri, pemecahan masalah, alur produksi dan bekerja tematis.
Berdasarkan ketiga pilar tersebut diatas materi umum pendidikan dasar teknologi dikembangkan, dengan koposisi sebagai berikut : (a) Penanganan produk teknologi memerlukan waktu 30 %; (b) Pembuatan produk teknologi, meerlukan waktu 35 %; (c) Hubungan antara teknologi dengan masyarakat, memerlukan alokasi waktu 10 %. Sedangkan waktu yang tersisa sekitar 25 % dicadangkan untuk diisi dengan teknologi yang sifatnya lokal atau sesuai dengan perkembangan teknologi yang yang ada didekat lingkungan para siswa.
D. Buku Sumber.

1. ................., (1997) Basic Technology Education Curriculum Indonesia, Educaplan, Enschede, The Netherlands. 2. Doornekamp, B.G. (1995). Technology in Dutch Primary Education, National Institut for Curriculum Devellopment, The Netherlands. 3. Griffith, Alan K & Health, Nancy Parson, (1996), Student Secondary view about Technology, Journal Research in Science & Technology Education, Vol. 14, No. 2. 4. Sukadinata, Prof. Dr. Nana Syaodih, (1997) Pengembangan Kurikulum, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung
www.pendidikan.net




Semoga Bermanfaat, Semangat, Mohon Maaf apabila ada kesalahan penulisan, Terima Kasih.

Salam Pendidikan Untuk Peradaban.

Penulis ulang: Arip Nurahman

Departemen Pendidikan Fisika, FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia
& Follower Open Course Ware at MIT-Harvard University, Cambridge, USA.

Peneliti Muda di Laboratorium, Fisika Bumi Siliwangi UPI, Bandung

"Sekolah! Masa depan bangsa ini tergantung pada anak-anak muda yang ada di negara ini. Kalau sekolah kita ditelantarkan, sampai kapanpun tidak mungkin negara ini akan maju. Sambungkan 220.000 sekolah ke internet, sambungkan 46,5 juta anak Indonesia ke internet. Itu aja sih..."
~Onno W. Purbo~

Sumber:
1. Pers Depdiknas
2. Teknologi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia http://kurtek.upi.edu/
3. Smansabanintv's Channel SMAN 1 Banjar Internet Television
4. Awal Sejarah Internet di Indonesia dan Kota Banjar


Ucapan Terima Kasih:

Kepada orang tua kami yang senantiasa memberikan dorongan Do'a dan materil,
Guru-guru dan dosen atas bimbingan serta ilmu yang telah engkau berikan.
Sahabat, teman dan saudara-saudara yang selalu saya Kasihi dan teruntuk orang-orang yang Kusayangi! Terus Berjuang, dan Bersemangat! Semoga Bermanfaat!