Rabu, 18 Januari 2012

DAERAH PEDALAMAN JAWA DI BAWAH PENGARUH KUMPENI DAGANG BELANDA (VOC)

Setelah masa perdagangan kuno, bangsa asing mulai menetap di suatu kawasan untuk melakukan hubungan perdagangan langsung dengan masyarakat pribumi di Nusantara. Salah satu bangsa barat yang menetap di kawasan nusantara adalah Belanda. Pemerintah Belanda mendirikan VOC sebagai kongsi dagang yang memiliki pengaruh kuat di nusantara. VOC secara tidak langsung menjadi badan perwakilan pemerintah hindia Belanda yang berpengaruh di daerah-daerah kawasan nusantara, khususnya di Pulau Jawa.

Seiring dengan eksistensi VOC di tanah Jawa, kongsi dagang Belanda ini mendapatkan hak-hak khusus yang sangat menguntungkan. Yang menarik, kiprah VOC di tanah Jawa terlihat jelas di kerajaan-kerajaan Jawa khususnya di daerah pedalaman. Sebagai sebuah badan yang mengurusi masalah perdagangan, VOC memiliki kedekatan yang cukup erat dengan pihak penguasa pribumi. Bahkan dalam perkembangannya, campur tangan VOC semakin besar di daerah pedalaman Jawa. VOC tidak lagi hanya sekedar memiliki kewenangan dalam bidang perdagangan saja, sepak terjang VOC juga telah merembet dalam masalah pemerintahan serta kebijakan politik yang diambil oleh kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa. 

Berbicara mengenai VOC, mau tidak mau kita juga akan berbicara mengenai kekuasaan Belanda di tanah air. Berdasarkan klaim Belanda, VOC menjadi salah satu komoditi yang mengawali masa penjajahan Belanda di Indonesia yang diklaim berlangsung selama 350 tahun. Padahal apabila dianalisis lebih lanjut, kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda di nusantara tidak sampai 350 tahun. 

Periode penjajahan Belanda di Indonesia menjadi begitu lama karena masa pendudukan VOC juga dimasukkan sebagai masa keberlangsungan penjajahan Belanda di Indonesia. 

Bagaimanakah sebenarnya eksistensi pendudukan VOC di tanah Jawa sendiri? sumber-sumber sejarah sendiri kebanyakan berbicara mengenai masa pendudukan VOC di nusantara secara keseluruhan. 

Belum diketahui dengan pasti bagaimana masa pendudukan VOC yang terbatas terjadi di pedalaman Jawa. 

Oleh karena itulah penulis tertarik untuk mengangkat topik masa pendudukan VOC atau kumpeni dagang Belanda di daerah pedalaman Jawa. 

Daerah Pedalaman Jawa di Bawah Pengaruh Kumpeni Dagang Belanda 

A. Aktivitas Perdagangan di Pedalaman Jawa Masa Pendudukan VOC 

Pada masa pendudukan VOC di tanah Jawa, kongsi dagang ini banyak mempengaruhi perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat pribumi dengan bangsa asing. Selama kiprahnya dalam kegiatan perdagangan di nusantara, VOC mendapatkan keuntungan-keuntungan yang berdampak positif bagi neraca keuangan kongsi dagang ini. 

Keuntungan tersebut berupa pemilikan hak khusus, antara lain sebagai berikut : 

a. Mendapatkan perlakuan yang sama dengan pedagang-pedagang lainyang berhubungan dengan Bangsa Indonesia. Mereka bertindak sebagai pedagang biasa hubungan dagang sewajarnya.

b. Hak beli utama, hak untuk memperoleh penawaran pertama atas barang-barang produksi Indonesia. 

c. Tahap selanjutnya mereka (VOC) memaksa untuk menjadi satu-satunya pedagang yang membeli hasil-hasil produksi dan sekaligus sebagai satu-satunya pedagang yang memasok barang-barang keperluan yang dibutuhkan. 

d. Memperoleh pendapatan dan penyerahan wajib dan keuntungan dari contingen-contingen. 


Dalam perkembangannya, eksistensi VOC di tanah jawa semaki kuat. Sebagai kompensasi atas bantuan yang diberikan kepada raja Mataram dalam rangka menumpas perlawanan di Jawa Timur yang dipimpin Trunojoyo, pada tahun tersebut Belanda mulai memperoleh hak beli utama atas beras dari Jawa dan raja Mataram. 

Bahkan mereka juga memperoleh hak untuk mengimport barang-barang tekstil dan candu dari India. Pada tahun 1705 terjadi perebutan tahta Mataram dan VOC mendapatkan keuntungan dari hal ini. 

VOC mendapat wilayah Mataram yaitu : Priangan, Cirebon dan Madura. Dalam perjanjian 1743, kumpeni dagang Belanda memperoleh hak untuk mengangkat patih kerajaan dan juga bupati. Selain itu, VOC juga mendapat wilayah di pantai utara Jawa, yaitu : Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, Ujung timur Pulau Jawa dan sebagian Madura yang sebelumnya masih dikuasai Mataram. 

Tahun 1755, kembali terjadi perebutan tahta di Mataram. Sultan Mataram harus menyerahkan seluruh kerajaan kepada VOC. Sejak tahun itu, VOC menjadi tuan tanah Mataram. Dengan kekuasaannya, VOC kemudian membagi Mataram dibagi menjadi dua, yaitu Yogyakarta dan Surakarta. 

Dalam struktur masyarakat Jawa, dikenal dua kelompok masyarakat yaitu masyarakat desa yang mencukupi kebutuhannya sendiri dan raja-raja beserta kaum bangsawan sebagai lapisan atas. Struktur ekonomi-sosial Jawa kemudian menjadi feodal yang berat sebelah. 

Di dalam struktur masyarakat pedalaman Jawa, dikenal adanya sebuah ikatan feodal dan ikatan desa. Ikatan feodal adalah ikatan yang berkaitan dengan kekuasaan dan ketaatan antar pemegang kekuasaan di atas lingkungan lingkungan desa dengan rakyat jelata. Sedangkan ikatan desa adalah ikatan horisontal antar warga desa, yaitu persaudaraan antara tetangga desa. 


B. Pengaruh VOC Bagi Kerajaan-Kerajaan di Pedalaman Jawa 

Dengan keberadaan VOC di Jawa,terjadi perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan masyarakat pedalaman di desa. Perubahan yang terjadi ini merupakan cerminan dari pengaruh eksistensi VOC di tanah Jawa. Seiring dengan semakin luasnya daerah yang menjadi kekuasaan kumpeni, kerajaan-kerajaan Jawa akhirnya menjadi kerajaan penyerahan wajib dan pekerjaan wajib. 

Bentuk perubahan ini dapat dilihat pada kasus Kerajaan Mataram. Apabila pada masa-masa sebelumnya raja Mataram adalah pemegang monopoli epor beras, maka kemudian perdagangan tunggal raja ini sejak tahun 1700 telah berubah menjadi penyerahan wajib kepada kumpeni. 

Demikian pula halnya dengan hasil-hasil produksi lainnya yang kurang berarti, sehingga pada akhirnya seluruh perdagangan eksport menjadi penyerahan wajib. Meminjam istilah D.H. Burger, dengan perluasan daerah serta pengaruh ketanegaraan/politik, VOC telah berkembang “dari pedagang menjadi raja”. Seiring dengan hal ini, kerajaan-kerajaan Jawa semakin kehilangan legitimasi kekuasaannya. Cerminan dari hal ini dapat dilihat pada kasus Kerajaan Mataram. 

Dengan campur tangan VOC, Mataram telah berhasil dibagi menjadi 2 yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Dua tahun kemudian, VOC juga mampu membagi Surakarta menjadi wilayah yang lebih kecil lingkupnya, yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Cah Yogyakarta pada tahun 1812 juga dipersempit menjadi daerah kerajaan baru Pakualaman. 


C. Berakhirnya Kekuasaan Kumpeni Dagang Belanda (VOC) 

Menjelang abad 19 kumpeni dagang Belanda yang pada waktu itu mengandalkan Pulau Jawa sebagai basis kekuatannya, tidak dapat lagi mempertahankan kekuasaannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain sebagai berikut :

a. Wilayah kekuasaan yang semakin luas akan meningkatkan perolehan keuntungan. Namun apabila wilayah kekuasaan melebihi batas kemampuan yang dimiliki justru akan mendatangkan kerugian. Konsekuensi perluasan wilayah adalah pengeluaran biaya yang tinggi. Keuntungan perdagangan semakin berkurang untuk biaya operasional di wilayah kekuasaan.

b. Perang yang berlangsung di Eropa antara Inggris dan Belanda telah banyak menyerap keuntungan perdagangan VOC.

c. Keuntungan perdagangan semakin berkurang karena luasnya wilayah kekuasaan dan tingginya biaya perang. Akhir tahun 1799, VOC dinyatakan pailit oleh Kerajaan Belanda. 

Kumpeni dilikuidasi dan pegawai-pegawai perusahaan dagang banyak yang pindah bekerja sebagai pegawai negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sisa-sisa kekayaan kumpeni diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Belanda. D. Babak Baru Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda Setelah VOC dinyatakan pailit, tugas dan kewajiban VOC selanjutnya dipegang oleh Raad der Aziatische Bezittingen Vestigingent. Pemerintah Hindia Belanda melantik Daendels sebagai gubernur jenderal di Indonesia. 

Ia melakukan perbaikan administrasi pemerintahan yang meliputi : 

1. Pegawai negeri mendapat bayaran tetap, sebagian dilarang berdagang. Dengan gaji yang tetap para pegawai diharapkan memiliki jiwayang baru.

2. Kewenangan bupati dikurangi 

3. Kepala desa diangkat oleh pemerintah, tidak tergantung pada bupati 

4. Melarang persewaan desa, kecuali desa untuk produksi gula, garam, dan sarang burung. 

Sistem sewa telah menyebabkan penindasan dan penganiayaan yang luar biasa bagi penduduk desa. Dalam masa pendudukannya, Daendels juga menerapkan kebijakan-kebijakan baru yang tidak diberlakukan pada masa VOC. Penyerahan wajib atas kapas dan nila yang berlaku di pantai barat dan timur Jawa dihapuskan oleh Daendels. 

Penanaman wajib untuk kopi yang mula-mula dilaksanakan hanya di Jawa Barat pada masa kumpeni, dan kemudian di Jawa Tengah dan Jawa Timur menjelang berakhirnya kekuasaan kumpeni, oleh Daendels areal penanaman di Jawa Tengah dan Jawa Timur itu kemudian diperluas.

Ia juga memberlakukan kerja rodi yang berat untuk keperluan pembuatan jalan pos yang besar. Jalan yang dibangunnya untuk kepentingan militer, tetapi kemudian menjadi lebih penting untuk perekonomian. Kerja rodi yang paling berat adalah ketika ia membuat jalan yang menyusur pantai utara Jawa menghubungkan Anyer di Jawa Barat dengan Panarukan di Jawa Timur.

Walaupun demikian, dari apa yang telah dilakukan oleh Daendels di Indonesia, ia telah berusaha meletakkan dasar-dasar pemerintahan kolonial yang kemudian dilanjutkan para penerusnya. 

Sistem pemerintahan yang sentralistik dan pengelolaan administrasi yang kuat dan rasional telah mulai diperkenalkan. 

Boleh dikatakan bahwa Daendels di Jawa telah menerapkan pemikiran-pemikiran Napoleon.

Posted by: Fazar Shiddieq Karimil Fathah

Selasa, 10 Januari 2012

NYAI RORO KIDUL : SEBAGAI SIMBOL KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT JAWA

SANG RATU DALAM MITOS 

Dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi, hiduplah seorang putri cantik bernama Kadita. Karena kecantikannya, ia pun dipanggil Dewi Srengenge yang berarti matahari yang indah. Dewi Srengenge adalah anak dari Raja Munding Wangi. Meskipun sang raja mempunyai putrid yang cantik, ia selalu bersedih karena sebenarnya ia selalu berharap mempunyai anak laki-laki. 

Raja pun kemudian menikah dengan Dewi Mutiara, dan mendapatkan putra dari perkawinannya tersebut. Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja. Keinginan itu takkan terwujud selama Putri Kadita masih ada. Kemudian Dewi dating menghadap raja, dan meminta agar sang raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah barang tentu raja menolak hal tersebut. 

Tak kehabisan akal, Dewi Mutiara memanggil seorang dukun untuk memantrai sang putri sehingga sekujur tubuhnya dipenuhi penyakit kulit. Raja merasa sedih tak mampu berbuat apa-apa ketika didesak untuk menyingkirkan sang putrid yang menjadi pergunjingan seluruh negeri. Putrid yang malang itu pun pergi sendirian tanpa tahu kemana harus pergi. Ia terus berjalan hingga akhirnya tiba di Pantai Laut Selatan. Dikisahkan Putri Kadita mendengan suara gaib yang memanggilnya untuk mandi di laut selatan. 

Kadita menuruti suara gaib tersebut. Saat air laun menyentuh kulitnya, dengan mukjizat Sang Widhi, ia sembuh dari penyakitnya seketika juga. Imbal balik dari kesembuhannya, ia kemudian menghuni dan mengatur laut selatan. Ia kemudian terkenal dengan sebutan penguasa pantai selatan atau Nyi Roro Kidul. Cerita tersebut hanya satu dari sekian versi asal mula mitos penguasa pantai selatan. Setiap kelompok masyarakat Jawa yang tersebar dari ujung barat hingga ujung timur memiliki versi yang berbeda tentang keberadaan Nyai Roro Kidul. 

Di Jawa Tengah misalnya, Eksistensi Nyai Roro Kodul tampak pada kepercayaan adanya hubungan mistis antara Panembahan Senopati dengan Ratu Gaib yang digambarkan sebagi wanita yang sangat cantik ini. Panembahan Senopati merupakan pendiri kerajaan Matara Islam. Dikisahkan suatu ketika Panembahan Senopati melakukan tapabrata di Pantai Selatan untuk memohon kekuatan dalam pertempuran dan untuk mengayomi rakyatnya, kesungguhan tapabratanya menarik perhatian Nyai Roro Kidul. 

Terjadilah perjanjian antara kedua penguasa itu. Nyai Roro Kidul bersedia membantu Panembahan Senopati untuk mewujudkan harapannya. Sementara Panembahan Senopati bersedia menjadi suami Nyai Roro Kidul, begitul pula dengan seluruh keturunan raja-raja Mataram selanjutnya. Mitos perjanjuan ini menjadi sebuah legitimasi yang menjadikan kedudukan para raja Mataram ini begitu sacral. Hal ini diaktualisasikan dengan dibangunnya Panggung Sangga Buana pada masa pemerintahan Pakubuwana II. Panggung Sangga Buana, yang lebih tepat disebut sebagai menara, dipercaya sebagai tempat pertemuan raja-raja Mataram dengan Nyai Roro Kidul. Entah itu untuk berkonsultasi dengan ratu, atau untuk melakukan hubungan selaiknya suami istri. 

 
MENGHARGAI MITOS SEBAGAI KEARIFAN LOKAL

Sebagian masyarakat Jawa jaman sekarang mungkin tidak lagi mempercayai legenda ini. Mereka lebih menganggap legenda ini sebagai kisah yang kebenarannya sangat diragukan. Bahkan bagi orang-orang yang agamis akan menganggap hal tersebut sebagai cerita yang sama sekali tidak pantas untuk dipercaya. Tapi coba tanyakan kepada mereka yang hidup di dalam zaman atau lingkungan Keraton. Mereka yakin dengan kebenaran eksistensi Nyai Roro Kidul. Argo Twikromo dalam bukunya berjudul Ratu Kidul menyebutkan bahwa masyarakat adalah sebuah komunitas tradisi yang mementingkan keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan hidup. Karena hidup ini tidak terlepas dari lingkungan alam sekitar, maka memfungsikan dan memaknai lingkungan alam sangat penting dilakukan. 


Sebagai sebuah hubungan komunikasi timbale balik dengan lingkungan yang menurut masyarakat Jawa mempunyai kekuatan yang lebih kuat, maka penggunaan symbol pun sering diaktualisasikan. Kraton Kasultanan Yogyakarta misalnya, jika dihubungkan dengan mitos makhluk halus seperti penguasa Gunung Merapi, penguasa Gunung Lawu, Kayangan dan Laut Selatan. Penguasa Laut Selatan inilah yang oleh orang Jawa disebut Kanjeng Ratu Kidul. Keempat penguasa tersebut mengitari Kesultanan Yogyakarta. Dan untuk mencapai keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat, maka raja harus mengadakan komunikasi dengan “makhluk-makhluk halus” tersebut. 


Menurut Twikromo, bagi raja Jawa berkomunikasi dengan Ratu Kidul adalah sebagai salah satu kekuatan batin dalam mengelola Negara. Sebagai kekuatan kasat mata, Kanjeng Ratu Kidul harus dimintai restu dalam kegiatan sehari-hari untuk mendapatkan keselamatan dan ketentraman. Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ini diaktualisasikan dengan baik. Pada kegiatan “labuhan” misalnya, sebuah upacara tradisional keratin yang dilaksanakan di tepi laun selatan Yogyakarta, yang diadakan tiap ulang tahun Sri Sultan Hamengkubuwono (Sultan Yogyakarta), menurut perhitungan tahun Saka (tahun Jawa). 

Upacara ini bertujuan untuk kesejahteraan sultan dan masyakarat Yogyakarta. Kepercayaa terhadap Kanjeng Ratu Kidul juga diwujudkan lewat Bedaya Lambangsari dan Bedaya Semang yang diselenggarakan untuk menghormati serta memperingati Sang Ratu. Bukti lainnya adalah dengan didirikannya sebuah bangunan di Komplek Taman Sari (Istana di Bawah Air), sekitar 1 km sebelah barat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dinamakan Sumur Gumuling. 

Tempat ini diyakini sebagai tempat pertemuan Sultan dengan Ratu Pantai Selatan, sama seperti fungsi Panggung Sangga Buwana. Eksistensi mitos Nyai Roro Kidul, merupakan perwujudan bagaimana masyarakat Jawa memelihara tradisi khas mereka dan mengaktualisasikannya dalam nilai-nilai luhur. Terlepas dari benar atau tidaknya mitos ini, akan sangat bijak jika kaum cendikiawan yang selalu cenderung pada kekritisan berdasarkan rasio, juga turut menghargai atau menghormati kepercayaan dan kearifan local. 

Posted by: Fazar Shiddieq Karimil Fathah

Jumat, 06 Januari 2012

Bank Buku Kota Banjar

Pustaka Digital Kota Banjar

Visi

Buku-buku untuk Seluruh Masyarakat Kota Banjar


Misi

1. 000. 000 Buku Untuk Masyarakat Kota Banjar


"Stair to Heaven"

Tangga Menuju Surga Keabadian


Program

Tahap I

1000 Buah Buku-buku


Strategy

Pengumpulan e-buku dari sumber-sumber yang berkualitas


Allhamdulilah Kami mendapatkan wakaf buku dari FORSALIM






Tahap II


10.000 Buah Buku-buku

Tahap III

50. 000 Buah Buku-buku


Tahap IV

100. 000 Buah Buku-buku

Tahap V

500.000 Buah Buku-buku

Tahap VI

1.000. 000 Buah Buku-buku


Strategy


Sumber:

1. http://irmforsalim.blogspot.com/


Ucapan Terima Kasih:

1. Seluruh Masyarakat Kota Banjar