Jumat, 28 Maret 2008

Problemantika dan Permasalahan Guru, Kapan Usainya?



Problemantika Guru, Kapan Usai?


Disusun dan Diedit oleh:

Arip Nurahman
Departmen Pendidikan Fisika, FPMIPA, Indonesia University of Education
&
Follower Open Course Ware at MIT-Harvard University, U.S.A.


"Teaching is the profession that teaches all the other professions"
~Author Unknown~


"The teacher who is indeed wise does not bid you to enter the house of his wisdom but rather leads you to the threshold of your mind"
~Kahlil Gibran~


Dalam istilah Sunda, guru merupakan sosok yang 'digugu' dan 'ditiru', dihormati dan dicontoh. Guru juga dijuluki sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun realitanya, tak demikian yang ditemui di lapangan. Guru yang sejatinya berfungsi sebagai pentransfer ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada anak didik, dan menjadi panutan bagi mereka, tampaknya belum mampu menjalankan tugasnya secara optimal. Mengapa demikian?


Permasalahan-permasalahan yang hadapi guru tiap hari bermunculan ke permukaan. Problem tersebut di antaranya adalah rendahnya mutu pengajaran yang disebabkan karena beratnya beban yang diemban guru, minimnya fasilitas pembelajaran di sekolah, dan rendahnya kesejahteraan guru (Kompas, 11/11/2004). Selain itu, minimnya jumlah guru yang tersedia serta manajemen pendidikan yang ala kadarnya dapat mengakibatkan kegiatan belajar mengajar (KBM) kurang maksimal. Contohnya, kadang-kadang seorang guru di suatu sekolah -pada umumnya di daerah terpencil-- mengajarkan mata pelajaran yang bukan bidangnya, hanya karena tidak adanya guru tersedia untuk mengajar mata pelajaran tersebut. Akibat manajemen yang tak teratur itulah, maka mutu pengajaran kian hari kian merosot.

Secara garis besar, problem rendahnya mutu pengajaran karena dua hal yakni, pertama, faktor internal, guru yang sejatinya sebagai tenaga profesional yang terdidik dan terlatih belum mampu menunjukkan kompetensi-kompetensi tersebut. Hal itu menjadikan proses belajar mengajar pun akan terganggu. Sebab, tugas guru tak hanya mengajar, tetapi juga mendidik serta seorang manajer di suatu kelas. Dalam proses mendidik inilah nilai-nilai moral semestinya diterapkan pada jiwa peserta didik. Nah, jika hal yang demikian tentunya dimulai dari para pendidik dan tenaga kependidikan.

Kedua, faktor eksternal. Profesi guru, seperti diketahui, adalah suatu pekerjaan yang mulia. Saking mulianya, guru, seringkali, benar-benar mengabdikan dirinya untuk satu sekolah tertentu meskipun honor yang didapatkan sangat minim sekali bahkan lebih kecil dari seorang buruh pada umumnya. Awalnya barangkali atas nama pengabdian, namun tak dapat dipungkiri bahwa guru juga harus memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Oleh karena gaji yang diterima tidak mencukupi kebutuhan fisiologisnya, maka tak sedikit guru yang 'nyambi' dengan pekerjaan lainnya. Dengan begitu, konsentrasi guru menjadi menurun karena terdesak pemenuhan ekonominya. Pendek kata, kesejahteraan guru kurang memadai sehingga berakibat merosotnya mutu pengajaran. Lha, bagaimana seorang guru bisa melakukan tugasnya dengan tenang jika masih pusing-pusing memikirkan cara untuk memenuhi kebutuhan pokoknya?

Selain itu, anggapan bahwa para orang tua anak didik adalah orang yang telah membayar upah para guru sehingga mereka berhak menuntut macam-macam pada pihak sekolah jika terjadi sesuatu yang tidak beres pada diri anak-anaknya. Padahal, fakta menunjukkan bahwa sumbangan pendidikan yang diberikan tak layak untuk menggaji guru yang telah berkorban jiwa dan raga. Sementara orang tua murid hanya menyerahkan sepenuhnya tanpa mengontrol perkembangan anak-anaknya. Perlu diketahui juga, bahwa Tuhan memperingatkan manusia untuk memelihara diri sendiri dan keluarganya, (QS. 66: 6) yang berarti bahwa orang tua juga ikut bertanggung jawab atas segala sesuatu yang bersangkutan dengan anak-anaknya terutama dalam hal pendidikan.

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."(QS. 66:6)

Di lain pihak, guru dituntut untuk memberikan yang terbaik bagi peserta didiknya. Untuk mencapai tujuan pendidikan adalah tak semudah yang seperti dibayangkan, akan tetap diperlukan proses yang cukup panjang dan rumit. Dengan meminjam istilah Mohammad Uzer Usman (2002), bahwa guru yang profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal. Jelasnya, untuk menjadi guru yang profesional dapat dikatakan gampang-gampang susah. Karena ia mesti memiliki sekian kemampuan yang spesifik, baik menyangkut materi maupun nonmateri. Ada yang berpendapat bahwa metode lebih penting daripada materi itu sendiri. Susah memang jika guru tidak menguasai strategi atau teknik mengajar yang baik, tapi penguasaan bahan ajar pun juga tidak boleh diabaikan.

Dari itu, sedikitnya ada lima kriteria yang harus dimikili dan dilakukan oleh guru profesional, yaitu menguasai materi kurikulum, mengaplikasikan materi dalam kehidupan sehari-hari, menguasai metodologi pengajaran dan evaluasi, serta bersikap displin, giat, dan loyal pada tugasnya sebagai guru. Dengan demikian, diharapkan guru mampu mengembangkan segala potensi dalam dirinya dengan baik sesuai dengan strategi belajar mengajar yang telah ada.

Dalam proses pencapaian menuju mutu pengajaran yang lebih meningkat maka langkah-langkah positif yang efektif dan efesien perlu dipersiapkan dan diterapkan oleh guru. Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya (1997) menjelaskan empat masalah pokok yang sangat penting yang dapat menjadikan pedoman dalam keberhasilan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Yaitu, pertama, menentukan sasaran dari kegiatan belajar mengajar. Kedua, memilih cara pendekatan belajar mengajar yang dianggap paling efektif untuk mencapai sasaran. Ketiga, memilih dan menetapkan prosedur, metode dan teknik belajar mengajar yang dianggap tepat. Keempat, menetapkan norma-norma atau kriteria keberhasilan sehingga guru mempunyai pegangan yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai sampai sejauhmana keberhasilan tugas-tugas yang dilakukannya.

Keberhasilan dalam mutu pengajaran sulit terwujud jika guru tidak mendapat support dari berbagai pihak. Guru dan orang tua peserta didik seyogyanya berrsama-sama membina interaksi yang harmonis guna tercapai keberhasilan belajar-mengajar. Tak ketinggalan juga pihak pemerintah baik pusat maupun daerah seharusnya memonitoring pelaksanaan pendidikan yang ada di tiap-tiap daerah. Adalah tidak fair jika pemerintah mengeluarkan dan menetapkan kurikulum di sekolah, namum pihaknya tidak meninjau dan mengevaluasi pelaksanaan kurikulum tersebut, apakah sudah memenuhi harapan atau belum sama sekali.

Berbicara mengenai konsep kurikulum yang sering berganti-ganti, agaknya patut dipertanyakan leibh lanjut. Jika yang masalahnya adalah mutu pengajaran masih rendah, mengapa mesti kurikulum yang diubah? Padahal, proses untuk mencapai kualitas pengajaran agar lebih meningkat, perlu memandang berbagai faktor pendukung pendidikan. Perubahan kurikulum (baca: materi) saja tak cukup untuk menggapai tujuan pendidikan, jika faktor-faktor lainnya tidak diubah. Misalnya, guru mengajar salah pelajran bahasa Inggris dengan metode ceramah dalam kelas, sehingga terjadi monolog yang membosankan dari sang guru. Kemudian, setelah diadakan ujian pelajaran tersebut, banyak siswa yang tidak lulus alias mendapat nilai yang mengecewakan. Nah, apakah hal ini berarti bahwa materi atau pelajaran tersebut sudah tidak layak lagi, terbukti para siswa gagal memperoleh nilai yang bagus dalam mata pelajaran tersebut? Tentunya perlu ditinjau dahulu dari faktor guru dan metode pengajarannya, apakah sudah memenuhi kriteria atau belum. Baru kemudian dilihat ulang bagaimana sebenarnya kurikulum yang telah ditetapkan itu, masih up to date atau sudah usang untuk menjawab problemantika kekinian.

Maka dari itu, guru mau tidak mau harus siap-siap menggaapai segala tantangan dan proemtantika yang terus muncul. Yang penting adalah bukan bagaiaman cara menghindari masalah, tapi bagaiamana memecahkan masalah dengan kepala dingin dan tenang tanpa dihinggapi sausananya yang memanas. Sebab, disadari atau tidak, guru itu selayaknya patut dijadikan suri tauladan bagi tak hanya anak-anak didiknya tapi juga masyarakat dimana ia berada. Dan, hal tersebut membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit. Guru, meski secara jujur diakui, kadang-kadang hidup di dalam suasana keprihatinan, namun alangkah tidak bijaksananya jika hal semacam itu menyurutkan semangatnya untuk mencerdaskan bangsa.

Melihat fenomena yang terjadi di atas, tampaknya julukan yang disandang oleh guru yaitu pahlwan tanpa tanda jasa, menurut hemat penulis sudah tidak relevan dengan keadaan sekarang ini. Kalau boleh usul, 'embel-embel' itu diganti dengan, guru adalah sang pahlawan sejati yang patut dihormati dan diteladani serta senantiasa berjasa seumur hidup. Dengan demikian profesi guru, meski bukan tergolong profesi yang diminati banyak orang, setidaknya masyarakat menghormati dan menghargai serta menjunjung tinggi segala ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh para guru dan juga para tenaga kependidikan.

Permasalahan-permasalahan Seputar Guru:

Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu : pertama, masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga, masalah distribusi guru dan masalah kesejahteraan guru.


1. Masalah Kualitas Guru


Kualitas guru Indonesia, saat ini disinyalir sangat memprihatinkan. Berdasarkan data tahun 2002/2003, dari 1,2 juta guru SD saat ini, hanya 8,3%nya yang berijasah sarjana. Realitas semacam ini, pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi masalah, dimana seorang guru (khususnya SD), sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran (guru kelas) yang tidak jarang, bukan merupakan inti dari pengetahuan yang dimilikinya, hal seperti ini tentu saja dapat mengakibatkan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal.


2. Jumlah Guru yang Masih Kurang

Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang, apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini, dirasakan masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu raung kelas sering di isi lebih dari 30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang maksimal.

3. Masalah Distribusi Guru

Masalah distribusi guru yang kurang merata, merupakan masalah tersendiri dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di daerah-daerah terpencil, masing sering kita dengar adanya kekurangan guru dalam suatu wilayah, baik karena alasan keamanan maupun faktor-faktor lain, seperti masalah fasilitas dan kesejahteraan guru yang dianggap masih jauh yang diharapkan.

4. Masalah Kesejahteraan Guru

Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa tingkat kesejahteraan guru-guru kita sangat memprihatinkan. Penghasilan para guru, dipandang masih jauh dari mencukupi, apalagi bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagian para guru untuk mencari penghasilan tambahan, diluar dari tugas pokok mereka sebagai pengajar, termasuk berbisnis di lingkungan sekolah dimana mereka mengajar.


Peningkatan kesejahteaan guru yang wajar, dapat meningkatkan profesinalisme guru, termasuk dapat mencegah para guru melakukan praktek bisnis di sekolah.


Kedudukan, Fungsi, Tugas, dan Tujuan Seorang Guru

Bab II Pasal 2 Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menyebutkan bahwa: (1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud.

Maksud dari ayat di atas menyebutkan bahwa guru adalah orang yang mendalami profesi sebagai pengajar dan pendidik, mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk memberikan kontribusi. Umumnya guru merujuk pada pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi hasil belajar siswa peserta didiknya. Tugas guru yang diemban timbul dari rasa percaya masyarakat terdiri dari mentransfer kebudayaan dalam arti yang luas, ketrampilan menjalani kehidupan (Life skills), terlibat dalam kegiatan-kegiatan menjelaskan, mendefinisikan, membuktikan dan mengklasifikasikan, selain harus menunjukkan sebagai orang yang berpengetahuan luas, trampil dan sikap yang bisa dijadikan panutan. Maka dari itu, guru harus memiliki kompetensi dalam membimbing siswa untuk siap menghadapi kehidupan yang sebenarnya (The real life) dan bahkan mampu memberikan keteladanan yang baik.

Undang-Undang No 14 tahun 2005, pasal 4 mengisyaratkan bahwa Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran yang berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Pasal 6 menyebutkan bahwa Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Di samping itu guru mempunyai tugas utama sebagai berikut:

a) Menyusun perencanaan pembelajaran;


b) Menyampaikan perencanaan;


c) Melakukan hubungan baik dengan sesama teman seprofesi, maupun dengan masyarakat;


d) Mengelola kelas yang disesuaikan dengan karakterstik peserta didik;

e) Melakukan penelitian dan inovasi dalam pendidikan, dan memanfaatkan hasilnya untuk kemajuan pendidikan;

f) Mendidik siswa sehingga mereka menjadi manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika, bangsa, masyarakat, dan agama;

g) Melaksanakan program bimbingan konseling, dan administrasi pendidikan;

h) Mengembangkan diri dalam wawasan, sikap, dan ketrampilan profesi; dan

i) Memanfaatkan teknologi, lingkungan, budaya, dan sosial, serta lingkungan alam dalam proses belajar.




Lagi mikir ya bu he.,.he.,.^_^? Semangat!

Upaya Pencarian Solusi:

1. Peningkatan dan Pengembangan Kulitas Guru yang Berkelanjutan dan Terarah

2. Pelatihan dan Pengkaderisasian Guru yang terus menerus.
(Sebuah Teladan)

3. Membuat sebuah Jaringan Pendidikan Nasional.

(Perlu Sosialisasi dan Pengoptimalan secara terus menerus)

4. Adanya "Reward and Punishment" yang Jelas dari Pemerintah.


"Kesadaran adalah Matahari
Kesabaran adalah Bumi
Keberanian adalah Cakrawala
Perjuangan adalah Pelaksanaan Tulisan"
~W.S. Rendra~

Sumber:
1. Bpk. Khaerul Khakim: mahasiswa aktif jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan
www.pendidikan.net

2. www.upi.edu
Universitas Pelopor dan Unggul

(Pak De Sofa)

4. Ayahanda Wawan Nurwana, Seorang Guru SD, yang tidak pernah lelah berharap dan berjuang untuk keluarganya dan para anak didiknya untuk mendapatkan pendidikan terbaik yang optimal.

"Titip Rindu buat Ayah dari Ananda. Dalam hening sepi kurindu"


Ucapan Terima Kasih:

Kepada orang tua kami yang senantiasa memberikan dorongan Do'a dan materil, Guru-guru dan dosen atas bimbingan serta ilmu yang telah engkau berikan.
Sahabat, teman dan saudara-saudara yang selalu saya Kasihi dan teruntuk orang-orang yang Kusayangi!
Terus Berjuang, dan Bersemangat!
Semoga Bermanfaat!, Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan ini, Terima Kasih

Wasalam wr.wb.


Perbaikan:
Ke-1: 13-10-2009

Arip Nurahman

Guru dan Dosen Profesional

"Upaya Membebaskan Masyarakat dari Belenggu Pendidikan Mahal dan Tidak Berkualitas"


"Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Pendidikan Mahal"

Disusun dan diedit ulang oleh:

Arip Nurahman

Pendidikan Fisika, FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia
&
Follower Open Course Ware at MIT-Harvard University, U.S.A.

"Matahari terbit Fajar tiba

Dan aku melihat 8 juta kanak-kanak tanpa pendidikan

Aku bertanya tetapi pertanyaanku membenturi meja-meja kekuasaan yang macet

Dan papan tulis- papan tulis para pendidik yang terlepas dari persolan kehidupan

Delapan juta kanak-kanak menghadapai satu jalan panjang

Tanpa plihan tanpa pepohonan tanpa dangau persinggahan tanpa ada bayangan ujungnya "

~W.S. Rendra~

"Tujuan pendidikan tidak sekedar mencetak sarjana yang berkualitas untuk kemudian mengabdi pada pasar, akan tetapi pendidikan harus mencetak sarjana yang memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah masayarakat. Pendidikan harus memberi tanggungjawab pada outputnya untuk memajukan taraf hidup masyarakat, memenuhi kebutuhan masyarakat, serta memberikan semangat bangsaisme dalam rangka mewujudkan Indonesia yang mandiri, bebas dari segala bentuk penjajahan dan penindasan."

~Jafar Fakhrurozi, Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia~

Abstract

Poverty is deprivation of those things that determine the quality of life, including food, clothing, shelter and safe drinking water, but also such "intangibles" as the opportunity to learn, to engage in meaningful employment, and to enjoy the respect of fellow citizens. Ongoing debates over causes, effects and best ways to measure poverty, directly influence the design and implementation of poverty-reduction programs and are therefore relevant to the fields of international development and public administration.

Although poverty is generally considered to be undesirable due to the pain and suffering it may cause, in certain spiritual contexts "voluntary poverty," involving the renunciation of material goods, is seen by some as virtuous.

Poverty may affect individuals or groups, and is not confined to the developing nations. Poverty in developed countries is manifest in a set of social problems including homelessness and the persistence of "ghetto" housing clusters.


Poverity and Education

Education Reduces poverty in reach and poor country

"Better educated people hav a greater probability of being employed, are economically more productive, and therefore earn higher incomes."

Throughout the world it has been found that the probability of finding employment rises with higher levels of education, and that earnings are higher for people with higher levels of education. A better educated household is less likely to be poor.

The impact of education on earnings and thus on poverty works largely through the labour market, though education can also contribute to productivity in other areas, such as peasant farming (Orazem, Glewwe & Patrinos, 2007: 5). In the labour market, higher wages for more educated people may result from higher productivity, but also perhaps from the fact that education may act as a signal of ability to employers, enabling the better educated to obtain more lucrative jobs.

Middle-income countries – which frequently have well developed markets for more educated labour – are particularly likely to see the benefits of education translated into better jobs and higher wages. In Chile, for instance, between one quarter and one third of household income differences can be explained by the level of education of household heads (Ferreira & Litchfield, 1998, p. 32).

It was previously thought that the returns to education (the quantified benefits of investing in education) were highest at primary levels. This belief provided a strong case for expanding investment in primary rather than higher levels of education (Psacharopoulos & Patrinos 2004). However, new evidence seems more mixed. While some studies continue to show higher returns for primary education, there is now also much evidence that investment in education at secondary or even tertiary levels may bring even higher returns in some countries.

This could indicate that returns to education vary with factors such as the level of development, the supply of educated workers, and shifts in the demand for such workers in the development process. It is well known that the demand for more educated labour rises as a country develops (Murphy & Welch, 1994). This increase in demand for highly skilled workers requires educational output to adjust accordingly, raising the relative returns to higher levels of education (Goldin & Katz, 1999).

Nevertheless, the absolutely poor in developing countries usually have low education levels. Some may still not even have access to primary education or may not complete their primary education. Universal primary education is therefore crucially important to reduce poverty. However, there are also examples of countries where the rapid expansion of education has resulted in lowering education quality, suggesting that countries face a trade-off between quantity and quality in the short to medium term. In such cases, the impact of education on poverty reduction may be small, and a lot of effort must go into protecting and enhancing the quality of education.

In developed countries there are sometimes groups of students who are excluded from the social mainstream. Some of the factors associated with this include poverty (especially relative poverty), language, ethnic minority status, or immigrant status (Schnepf, 2004). Although these factors may all separately contribute to social disadvantage and social exclusion, they often interact.

Thus social exclusion is a common feature of many educationally ‘at risk’ students, both poor and non-poor. Social mobility varies across countries in the developed world. Generally, education improves job prospects for poor groups, although upward social mobility is more difficult for groups that are also otherwise socially marginalized, such as immigrant communities or ethnic minorities. Even among such groups though, education lowers poverty, but the returns to education may be smaller than for non-minority members due to discrimination.


Upaya Tanpa Henti

Belum lama energi bangsa ini terkuras oleh persoalan pro-kontra RUU Sisdiknas menjadi UU Sisdiknas, kembali dunia pendidikan menarik perhatian kita. Pro dan kontra kembali terjadi, meskipun persoalan Aceh, "Sukhoigate", dan isu sebagian anggota MPR berfoya-foya di luar negeri juga turut mengemuka.


Persoalan pendidikan kali ini mengenai mahalnya biaya pendaftaran masuk sekolah dan Perguruan Tinggi. Persoalan ini memang persoalan klasik yang selalu hadir dari tahun ke tahun saat tahun baru ajaran akan dimulai. Tapi persoalan besarnya biaya pendidikan yang timbul tidak bisa dianggap persoalan yang remeh, karena hal ini menyangkut keadilan dan hak bagi seluruh anggota masyarakat untuk bersama-sama mendapat pendidikan yang bermutu dan berkualitas.

Adalah sejak tahun 2000 pemerintah memberikan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ada di Indonesia. PTN yang mendapat status BHMN yang dimaksud adalah Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Keempat PTN ini termasuk PT yang paling diminati oleh calon mahasiswa di antara PT yang ada di Indonesia. Maka tidak heran jika kemudian keempat PTN ini selalu menjadi incaran bagi calon mahasiswa baru. Dan, menjadi PT yang bestatus BHMN nampaknya kini menjadi suatu hal yang bergengsi dan membanggakan dalam dunia perguruan tinggi kita.

Sejak berstatus BHMN keempat PTN ini makin mandiri saja mencari dana. Sebab pemberian status BHMN itu juga berarti tidak mendapat subsidi lagi dari pemerintah. Dengan kata lain, PTN yang bersangkutan memiliki kebebasan sendiri untuk mencari dana operasional pendidikannya masing-masing. Dari sinilah pro-kontra dan perang opini mengenai besarnya biaya pendidikan itu mencuat. Mengapa? Bagi pihak PTN yang berstatus BHMN tentu saja hal ini menguntungkan dengan alasan bahwa, untuk menciptakan pendidikan yang bermutu perlu biaya besar dan mahal. Dengan demikian, tentu saja tunjangan isensif para dosen dan karyawan akan ditingkatkan. Maka persoalan mutu pendidikan sebenarnya dapat terbaca. Bukan terletak pada biaya pendidikan harus mahal, tapi gaji guru dan dosen harus tinggi. Dan saya kira, ini tugasnya pemerintah dan berkaitan erat dengan kebijakan yang dibuat dalam memajukan dunia pendidikan ke depan.

Namun bagi kalangan masyarakat tertentu, yang prihatin dengan nasib masyarakat yang kehidupan ekonominya rendah, tentu saja PTN yang memiliki status BHMN itu menjadi momok yang menakutkan. Betapa tidak, mahalnya biaya pendaftaran dan biaya kuliah, telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Kalaulah alasannya pendidikan bermutu itu harus mahal, alasan ini hanya berlaku di negara yang mengaku Sumber Daya Alamnya sangat banyak ini. Karena di Jerman, Perancis, Belanda, dan di negara berkembang lainnya, menurut para ahli pendidikan, juga banyak memiliki PT yang bermutu tapi biaya pendidikannya sangat rendah. Bahkan di beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan bagi masyarakatnya. Tapi mengapa di Indonesia tidak? Maka, formula yang mengatakan biaya pendidikan harus mahal itu hanya berlaku di Indonesia saja. Ini dalam artian sebenarnya. Maksudnya, pendidikan saja yang mahal, tapi masih jauh dari mutu. Maka tidak terlalu salah jika kemudian timbul istilah "Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan" di dunia pendidikan kita saat ini.

Setuju atau tidak istilah itu timbul, namun kenyataannya tidak jauh berbeda dengan makna istilah yang dimaksud. Lihat saja giatnya keempat PTN yang berstatus BHMN itu dalam mencari dana. Masing-masing mereka berkompetisi dalam penerimaan calon mahasiswa baru dengan cara membuka "jalur khusus" dengan tarif Rp. 15 juta sampai Rp. 150 juta (gila!).

Di samping itu, IPB mencari dana operasional pendidikannya ke depan dengan cara membangun mal. ITB dengan cara menjaring calon mahasiswa baru melalui penelusuran minat, bakat, dan potensi (PMBP) dengan berkewajiban membayar uang masuk atau pendaftaran sebanyak Rp. 45 Juta. UGM mencari dana dengan cara menerima pendaftaran dan mengadakan tes mahasiswa baru lebih awal dari PT lainnya, dan sebagainya.

Sofian Efendi (rektor UGM), menulis di Kompas (24/6/2003), bahwa ada dua permasalahan mendasar yang dihadapi oleh PT di Indonesia. Pertama, krisis mutu. Kedua, krisis pembiayaan. Untuk menghadapi globalisasi pendidikan yang sudah mulai merambah ke Indonesia, dunia PT harus melakukan tugas pokok. Pertama, meningkatkan kualitas. Kedua, menjaga pemerataan akses tetap terjaga. Untuk mencapai kedua tujuan ini menurut Sofian diperlukan biaya besar. Inilah mungkin penyebab universitas yang dipimpinnya menerapkan kebijakan yang kontroversial itu.

Namun pertanyaan yang timbul adalah: Mengapa harus mengorbankan keadilan untuk mendapat pendidikan bermutu bagi masyarakat? Kalaulah harus demikian, apa bedanya PT negeri dengan PT swasta? Kalaulah kebijakannya seperti yang berlaku saat ini, maka dunia pendidikan kita telah menjalankan program


"Yang kaya sekolah dan kuliah, Yang miskin dan ekonominya rendah, pengangguran saja".


Bukankah ini suatu kejahatan? Terakhir, di mana tanggung jawab pemerintah?

Sungguh ironis memang, para akademisi yang disebut-sebut sebagai ilmuwan, intelektual, yang selalu bergelut dengan ilmu pengetahuan, ternyata berhadapan dengan uang sikap kritis hilang. Betapa tidak, karena rata-rata pihak PTN yang berstatus BHMN itu memperjuangkan cara mereka dalam menggulirkan roda pendidikan mahal itu.

Masyarakat telah dibelenggu dengan pendidikan yang berbiaya tinggi. Padahal sikap yang diharapkan timbul dari kalangan ilmuwan kampus (baca: dosen) dalam menyikapi persoalan ini sebaliknya. Yaitu, mereka seharusnya mampu mengontrol dan menjadi representatif dalam pencegahan terjadinya "Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan". Mengapa? Karena salah satu isi tri dharma perguruan tinggi adalah pengabdian pada masyarakat.

Berangkat dari persoalan ini semua, maka pemerintah juga yang akan disalahkan. Kesalahan pemerintah itu, menurut Ali Khomsan (dosen IPB) dalam tulisannya "Brain Drain" Dosen PTN yang dimuat di salah satu koran nasional terbitan Jakarta, terletak pada sedikitnya pemberian isensif bagi guru dan dosen. Untuk mengantisipasi itu, dan mengantisipasi terjadinya brain drain dalam pendidikan, maka pemerintah harus meningkatkan penghargaan atas jerih payah dosen dengan cara memberikan gaji yang memadai. Bukankah sangat disayangkan, kata Ali, setelah dosen dikuliahkan lebih tinggi di luar negeri, namun negara lain yang memperolah manfaat ilmunya.

Pemerintah memang telah menganggarkan dana pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN, tapi ketika dunia pendidikan saat ini mulai memasuki era neoliberal pendidikan, dana sebanyak itu menurut sebagian kalangan masih terasa kurang. Kita memang patut sadar, bahwa masih banyak sektor-sektor publik lain yang harus diperhatikan oleh negara ketika membuat kebijakan-kebijakan liberalisasi. Meskipun demikian, kebijakan yang dapat mendorong majunya dunia pendidikan harus diperioritaskan oleh pemerintah. Bila tidak, maka dunia pendidikan kita akan terus berada dalam krisis mutu dan krisis kalah saing dari negara-negara berkembang lainnya.

Negara Jerman, Perancis, dan Belanda adalah negara berkembang yang juga menghadapi persoalan yang sama dengan negara Indonesia dalam menyikapi liberalisasi dalam sektor-sektor publik. Namun, di bidang pendidikan mereka tetap memberi subsidi yang memadai. Malaysia misalnya contoh terdekat. Dahulu negara jiran ini yang belajar tentang pendidikan kepada Indonesia, dan para tenaga pendidik kita selalu diminta untuk mengajar di sana. Tapi kini realitasnya sungguh terbalik, saat ini kitalah yang menjadikan Malaysia sebagai referensi kemajuan dalam hal pendidikan. Ini disebabkan karena pihak pemerintahan Malaysia memberikan perhatian yang cukup baik bagi kemajuan pendidikannya.

Dengan memberikan hak otonomi dan status BHMN kepada beberapa PTN, menurut pandangan saya, secara tidak langsung pemerintah Indonesia ingin lepas tangan dari tanggung jawab pendidikan, khususnya pada persoalan dana. Akibatnya, timbullah pendidikan mahal dan komersialisasi pendidikan di negara ini. Siapa yang bertanggung jawab? Alih-alih membicarakan persoalan pendidikan mahal, maka siapapun akan menyalahkan pemerintah di negeri ini. Oleh sebab itu, untuk membebaskan masyarakat dari belenggu pendidikan mahal saat ini merupakan tanggung jawab pemerintah!.

Dalam konteks ini, masyarakat kota Batam patut berbangga. Karena pemerintah daerah (Pemda)-nya akan menggratiskan uang pendaftaran masuk ke sekolah negeri,

Kota Banjar segera menyusul

"I We Can Dream It Yes We Can Do It"
-H2O-

sumber:

1. Lidus Yardi S.Pd.I (lidusyardi@yahoo.com) adalah Alumnus IAIN Susqa Pekanbaru,
Instruktur Organisasi PII Riau.
Alamat : Jl. Tiung No 50 D Kampung Melayu Sukajadi
Pekanbaru 28124, Riau.

2. Servaas van der Berg (South Africa)
is Professor of Economics at the University of Stellenbosch, South Africa and holds the National Research Foundation’s Research Chair in the Economics of Social Policy. His research and publications are mainly on income distribution and poverty, the economics of education, the economic role of social grants, and benefit incidence analysis.

dari berbagai sumber yang terpercaya

Faktor-Faktor Makro yang Menyebabkan Anak Malas Belajar: Upaya Mencari Solusinya


Faktor-Faktor Makro yang Menyebabkan Anak Malas Belajar

Ditulis dan ditambah ulang oleh:

Arip Nurahman

Pendidikan Fisika, FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia

dan

Follower Open Course Ware at MIT-Harvard University, Cambridge. U.S.A.


Sumber:

Penulis : Prof. Sarlito Wirawan Sarwono

Dosen/Guru Besar Fakultas Psikologi UI

http://sarlito.hyperphp.com/


Pendahuluan:

Proses Belajar

* Latihan

* Adanya Penambahan, perubahanà Tingkah Laku yang Baru


à perubahan terjadi secara sadar

à bersifat kontinu dan fungsional

à positif dan aktif

à bukan bersifat sementara

à perubahan bertujuan dan terarah

à mencakup seluruh aspek tingkah laku


Prinsip Belajar

  1. Belajar = pengalaman aktif
  2. Belajar = penemuan diri sendiri
  3. Belajar = konsekuensi dari pengalaman
  4. Belajar = kerjasama dan kolaborasi
  5. Belajar = proses evolusi
  6. Belajar = (kadang) proses yang menyakitkan
  7. Belajar = proses emosional dan intelektual
  8. Belajar = individual dan unik

Teori Belajar

* Teori stimulus – respon à tidak memperhitungkan faktor internal

* Teori transformasi à memperhitungkan faktor internal

* Behaviourisme

* Kognitif

* Sosial

* Humanistik

* Konstruktivisme

Teori stimulus-respon (Behavioural)

* Berpangkal dari psikologi asosiasi

à belajar adalah membentuk tanggapan dan menggabungkan tanggapan-tanggapan dengan jalan pengulangan

“anak mendapatkan tanggapan sebanyak mungkin; materi sebanyak-banyaknya, anak diminta menghafal, guru aktif-siswa pasif”

makin banyak diberi stimulus, makin memperkaya respon dalam proses belajar

* Tidak memperhitungkan faktor internal yang terjadi pada diri subjek

Teori Transformasi

* Memperhitungkan faktor internal dan faktor eksternal dari diri subjek

* Berlandaskan teori kognitif

teori neisser :

proses belajar adalah transformasi dari input à direduksi, diuraikan, disimpan, dipanggil lagi, dan dimanfaatkan

à tidak terbatas pada domain kognitif saja, tetapi juga afektif, dan psikomotor

à dalam bentuk permainan


Faktor-Faktor Makro

Bulan-bulan tertentu menjelang Ebtanas dan UMPTN, setiap tahun, adalah musimnya orangtua mengkonsultasikan anak-anaknya untuk tes bakat pada psikolog. Persoalan orangtua (belum tentu persoalan anak juga) adalah bahwa anaknya, walaupun sudah kelas 3 SMU, belum jelas mau memilih jurusan apa di perguruan tinggi. Karena takut bahwa anaknya gagal di tengah jalan, maka orangtua pun mengkonsultasikan anaknya kepada psikolog.

Sementara itu, dari pengamatan saya di ruang praktek, di pihak anaknya sendiri kurang nampak ada urgensi pada permasalahan yang sedang dihadapinya. Rata-rata anak memang ingin lulus UMPTN di Universitas-universitas favorit (UI, ITB), tetapi tidak terbayangkan betapa ketatnya persaingan yang harus dihadapinya1. Kalau tidak lulus UMPTN, pilihan untuk PTS (Perguruan Tinggi Swasta) masih banyak. Kalau tidak diterima di Trisakti atau Atmajaya, masih banyak PTS yang lain. Bagi yang orangtuanya mampu, kuliah di luar negeri2 bahkan lebih banyak lagi peluangnya.

Tidak adanya perasaan urgensi (kegawatan) lebih nampak lagi pada hampir-hampir tidak adanya persiapan yang serius. Kebanyakan anak tidak mempunyai kebiasaan belajar yang teratur, tidak mempunyai catatan pelajaran yang lengkap, tidak membuat PR, sering membolos (dari sekolah maupun dari les), seringkali lebih mengharapkan bocoran soal ulangan/ujian atau menyontek untuk mendapat nilai yang bagus.

Di sisi lain, cita-cita mereka (yang karena kurang baiknya hubungan anak-orangtua, sering dianggap tidak jelas) adalah sekolah bisnis (MBA). Dalam bayangan mereka, MBA berarti menjadi direktur atau manajer, kerja di kantor yang mentereng, memakai dasi atau blazer dan pergi-pulang kantor mengendarai mobil sendiri. Hampir-hampir tidak terbayangkan oleh mereka proses panjang yang harus dilakukan dari jenjang yang paling bawah untuk mencapai posisi manajer atau direktur tsb.

Sikap "jalan pintas" ini bukan hanya menyebabkan motivasi belajar yang sangat kurang, melainkan juga menyebabkan timbulnya gaya hidup yang mau banyak senang, tetapi sedikit usaha, untuk masa sepanjang hidup mereka. Dengan perkataan lain, anak-anak ini selamanya akan hidup di alam mimpi yang sangat rawan frustrasi dan akibat dari frustrasi ini bisa timbul banyak masalah lain.

Teori Brofenbrenner

Untuk memahami mengapa anak-anak bersikap jalan pintas sehingga malas belajar (banyak yang sejak SD), dan untuk membantu orangtua mencari cara pencegahan serta jalan keluarnya, saya mengajak anda sekalian untuk mengkaji sebuah teori yang dikemukakan oleh Brofenbrenner4.

Teori Brofenbrenner yang berparadigma lingkungan (ekologi) ini menyatakan bahwa perilaku seseorang (termasuk perilaku malas belajar pada anak) tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan dampak dari interaksi orang yang bersangkutan dengan lingkungan di luarnya.

Adapun lingkungan di luar diri orang (dalam makalah ini selanjutnya akan difokuskan pada anak atau siswa SD-SLTA) oleh Brofenbrenner di bagi dalam beberapa lingkaran yang berlapis-lapis (lihat diagram**):

  1. Lingkaran pertama adalah yang paling dekat dengan pribadi anak, yaitu lingkaran sistem mikro yang terdiri dari keluarga, sekolah, guru, tempat penitipan anak, teman bermain, tetangga, rumah, tempat bermain dan sebagainya yang sehari-hari ditemui oleh anak.

  2. Lingkaran kedua adalah interaksi antar faktor-faktor dalam sistem mikro (hubungan orangtua-guru, orangtua-teman, antar teman, guru-teman dsb.) yang dinamakannya sistem meso.

  3. Di luar sistem mikro dan meso, ada lingkaran ketiga yang disebut sistem exo, yaitu lingkaran lebih luar lagi, yang tidak langsung menyentuh pribadi anak, akan tetapi masih besar pengaruhnya, seperti keluarga besar, polisi, POMG, dokter, koran, televisi dsb.

  4. Akhirnya, lingkaran yang paling luar adalah sistem makro, yang terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat, budaya dsb.

Makalah ini, dengan mengikuti teori Brofenbrenner tersebut di atas, akan menguraikan bagaimana sistem makro yang terjadi di dunia dan Indonesia, melalui sistem-sistem lain yang lebih kecil (exo, meso dan mikro) berpengaruh pada kepribadian dan perilaku anak, termasuk perilaku malas belajar yang sedang kita biacarakan ini.

Sistem Makro

Kiranya hampir semua orangtua dan pendidik (dan semua orang juga) merasakan bahwa jaman sekarang ini terlalu banyak sekali perubahan. Para orangtua dari generasi "Tembang Kenangan" tidak bisa mengerti, apalagi menikmati, lagu-lagu favorit anak-anak mereka yang dibawakan oleh Dewa atau Westlife group. Bahkan generasi yang remaja di tahun 1980-an (generasi Stevie Wonder, Lionel Richie) juga sulit menerima lagu-lagu sekarang. Sulitnya, di kalangan generasi muda sendiri juga terdapat banyak versi musik (rap, reggae, house, salsa dsb.) yang masing-masing punya penggemar masing-masing. Di sisi lain musik-musik tradisional seperti keromcong dan gending Jawa, juga mengalami perubahan versi sehingga muncul musik campur-sari yang sekarang sedang populer di masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk generasi mudanya. Sementara itu, musik dangdut, yang tadinya monopoli masyarakat lapis bawah, justru berkembang menjadi lebih universal dengan mulai memasuki dunia kelas menengah atas.

Perubahan-perubahan yang drastis dan sekaligus banyak ini juga terjadi pada bidang-bidang lain. Wayang orang dan wayang kulit yang saya gemari di masa kecil dan merupakan kegemaran juga dari ayah saya dan nenek-moyang saya, sekarang praktis tidak mempunyai lahan hidup lagi. Modifikasi dari kesenian tradisional (wayang kulit berbahasa Indonesia dan berdurasi hanya 2 jam diselingi musik dang dut, atau ketoprak humor), hanya bisa mengembangkan penggemarnya sendiri tanpa bisa mengangkat kembali kesenian tradisional sebagai mana bentuk aslinya.

Dalam setiap sektor kehidupan yang lain pun terdapat perubahan yang cepat. Karena itu jangan heran jika istilah-istilah "prokem" di jaman tahun 1980-an sudah tidak dimengerti lagi oleh anak-anak "gaul" angkatan 1990-an yang punya gaya bahasa "funky" tersendiri. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi perkembangannya adalah yang paling cepat. Anak SD sekarang sudah terampil menggunakan komputer, sedangkan eyang-eyang mereka menggunakan HP saja masih sering salah pencet. Video Betamax yang sangat modern di tahun 1980-an, sekarang sudah menjadi barang musium dengan adanya VCD (Video Digital Disc) dan yang terbaru DVD (Digital Video Disc; yang sebentar lagi pasti akan usang juga).

Dampak dari perubahan cepat ini sangat dahsyat sekali. Jika dalam bidang sosial budaya kita hanya mengamati kekacauan yang sulit dimengerti, dalam politik, perkembangan dan perubahan yang teramat sangat cepat ini telah meruntuhkan beberapa negara (Rusia, Yugoslavia), setidak-tidaknya telah menimbulkan banyak konflik yang menggoyangkan stabilitas dalam negeri dan menelan banyak korban harta dan jiwa (seperti yang sedang terjadi di Indonesia).

Para ilmuwan, setelah menganilis situasi yang dahsyat di seluruh dunia tsb. di atas, menyimpulkan bahwa saat ini kita sedang memasuki era Postmodernism (disingkat: Posmo)5 . Menurut para pemikir Posmo, jaman sekarang kira-kira sama dahsyatnya dengan jaman revolusi industri (ditemukannya mesin uap, listrik, mesiu dsb.) di akhir abad XIX yang juga berdampak berbagai peperangan, revolusi (perancis, Rusia), depresi ekonomi, kemerdekaan berbagai negara kolonial, penyakit menular dsb. yang kemudian kita kenal sebagai jaman modern. Perbedaan antara jaman modern dengan jaman sebelumnya adalah bahwa kendali kekuasaan (dalam bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik) beralih ke tangan-tangan pemilik modal, pekerja, pemikir dsb., dari penguasa sebelumnya yaitu para raja, bangsawan, tuan tanah dsb. Dalam bidang musik misalnya, supremasi Beethoven sudah diambil alih oleh Elvis Presley, sedangkan kekuasaan Paus di Roma sudah tersaingi oleh berbagai versi agama Kristen lain yang tersebar di seluruh dunia (termasuk versi Katolik Roma di Philipina, misalnya). Di Jawa, misalnya, pusat kebudayaan di Kraton Mataram6, segera beralih ke Ismail Marzuki dan Chaeril Anwar setelah revolusi kemerdekaan. Dalam politik, ideologi yang berdasarkan feodalisme beralih ke ideologi komunisme (revolusi Rusia) atau liberalisme (revolusi kemerdekaan Amerika Serikat). Tetapi di zaman tradisional maupun di zaman modern, masih terasa adanya pusat-pusat kekuasaan, yang oleh manusia (dari sudut pandang psikologi) sangat diperlukan sebagai patokan atau pedoman hidup, sebagai tolok ukur untuk menilai mana yang benar atau salah, baik atau buruk, indah atau jelek.

Di dalam politik, misalnya, sampai dengan awal tahun 1990-an masih ada dua kekuatan utama di dunia (super powers) yaitu blok Barat (AS dan Eropa Barat) dan blok Timur. Upaya negara-negara dunia ke-3 untuk membangun KTT Non-Blok tidak banyak artinya, karena anggota-anggotanya tetap saja terpecah antara yang condong ke Blok Barat dan Blok Timur.

Tetapi di jaman Posmo ini, tidak ada lagi pusat-pusat kekuasaan seperti itu. Tidak ada tokoh, aliran, partai politik, ideologi, dan sebagainya yang mampu menonjol atau dominan dalam waktu yang cukup lama. Semua orang, aliran, ideologi dsb. bisa bisa timbul-tenggelam setiap saat. Bahkan agama pun, yang merupakan pranata yang paling konservatif, berubah-ubah dengan cepat sekali dengan timbul-tenggelamnya berbagai aliran, sekte dan bahkan agama-agama baru. Maka dapat dimengerti bahwa masyarakat awam di lapis bawah akan terperangkap dalam kebingungan-kebingungan karena hampir tidak ada tolok ukur yang dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari.

Sistem Exo

Pengaruh Posmo pada sistem exo dapat dilihat dan dirasakan dengan perubahan drastis dalam berbagai pranata sosial, politik dan ekonomi. Di Indonesia kita dapat menyimaknya dalam berbagai gejala seperti berubahnya fungsi Polri dari aparat pertahanan dan keamanan menjadi fungsi keamanan, ketertiban dan penegakkan hukum (karena itu Polri keluar dari ABRI). Dalam bidang perekonomian, pemerintah kehilangan kendalinya terhadap sistem moneter, karena begitu banyaknya yang bisa ikut bermain dalam sistem moneter, sehingga nilai valuta asing menjadi sangat fluktuatif. Dalam bidang pendidikan, sistem pendidikan nasional, yang tadinya seragam untuk seluruh Indonesia, makin bervariasi dengan banyaknya sekolah yang berorientasi pada bermacam-macam agama, sekolah yang bekerja sama dengan luar negeri, sekolah-sekolah alternatif yang dikelola LSM dan sebagainya, sementara di tingkat perguruan tinggi berkembang terus-menerus berbagai gelar baru (bahkan ada gelar-gelar palsu) dan peraturan-peraturan Depdiknas pun berubah-ubah setiap saat.

Di bidang media massa dan sarana komunikasi dan perhubungan, terdapat makin banyak alternatif. Jika di tahun 1960-an hanya ada radio dan telpon yang diputar dengan tangan dan hubungan ke luar Jawa sangat langka dan lama, sekarang sudah tersedia berbagai alternatif seperti televisi fax (dari satu stasiun saja di tahun 1963, menjadi puluhan stasiun dengan sarana satelit), HP, internet, fax, bus antar propinsi (dari Banda Aceh sampai Kupang), pesawat udara (sehingga Jakarta-Jayapura hanya beberapa jam saja) dsb., sehingga hampir tidak ada lagi daerah yang masih terisolir seperti Kabupaten Lebak di zaman Max Havelaar.

Dalam bidang kehidupan berkeluarga, sistem kekerabatan (keluarga besar) sudah makin ditinggalkan orang dan beralih ke pada sistem keluarga inti. Bahkan akhir-akhir ini sudah banyak orang yang memilih untuk tidak menikah (single family) atau menjadi orangtua tunggal (single parent family). Rata-rata usia menikah makin meningkat (di kalangan menengah-ke atas sudah mencapai 26 tahun dan 30 tahun bagi wanita dan pria). Psangan nikah pun ditentukan sendiri oleh anak, bukan orangtua. Upacara-upacara perkawinan masih dilakukan secara tradisional, tetapi hanya simbolik saja, karena upacara-upacara itu sama sekali tidak mencerminkan kehidupan yang sesungguhnya dari pasangan yang bersangkutan (uoacaranya berbahasa Jawa, padahal pengantin sama sekali tidak mengerti bahasa Jawa, bahkan sangat boleh jadi psangan sudah berhubungan seks jauh sebelum upacara adat yang disakralkan itu).

Sistem Meso dan Mikro

Yang dimaksud dengan sistem Mikro adalah orang-orang yang terdekat dengan anak dan setiap hari berhubungan dengan anak (ayah-ibu, kakak-adik, oom, tante, opa, pembantu, supir, teman sekolah, guru dsb.), maupun tempat-tempat di mana anak sehari-hari berada (rumah, lingkungan tetangga, kebun, sekolah, kota dsb.). Interaksi antara unsur-unsur dalam sistem Mikro tersebut dinamakan sistem Meso.

Sehubungan dengan berkembangnya Posmo (yang oleh Alvin Toffler dinamakan "The Third Wave" QUOTATION), maka sistem Mikro dan Meso anak juga akan berubah drastis. Orangtua, guru, guru ngaji, orangtuanya teman-teman, apalagi televisi, tidak lagi satu bahasa dan seia-sekata dalam mendidik anak-anak. Di masa lalu, setiap ucapan orangtua hampir selalu konsisten dengan arahan guru di sekolah atau omongan orang-orang di surau atau di pasar. Tetapi sekarang apa yang dikatakan orangtua sangat berbeda dengan yang ditayangkan di TV, atau dengan omongan orangtuanya teman, atau nasihat ibu guru. Bahkan antara ayah dan ibu saja sering tidak sepaham, karena ibu-ibu jaman sekarang sudah sadar jender, punya penghasilan sendiri (bahkan kadang-kadang lebih besar dari suaminya), jadi merasa berhak juga untuk memutuskan dalam lingkungan rumah tangga.

Buat orangtua sendiri, yang dirasakan adalah bahwa anak tidak lagi hanya mendengarkan orangtua sendiri. Anak makin sering membantah, bahkan melawan orangtua, karena ia melihat banyak contoh di luar yang tidak sama dengan apa yang dikatakan orangtuanya. Jika anak dilarang menyetir pad usia 14 tahun, ia segera bisa menunjuk anak lain yang diijinkan nyetir sejak SD; jika anak disuruh sholat, ia segera mengacu pada Pak De-nya yang tidak sholat. jika ia dilarang pulang malam, ia malah pulang pagi, karena semua temannya mengajaknya ke disko atau ke kafe.

Anak

Sementara itu, anak sendiri tetap saja anak seperti sejak jaman dahulu kala. Semasa kecil anak-anak membentuk kepribadiannya melalui masukan dari lingkungan primernya (keluarga). Sampai usia 5-8 tahun ia masih menerima masukan-masukan (tahap formative). Menjelang remaja (usia ABG) ia mulai memberontak dan mencari jati dirinya dan akan makin menajam ketika ia remaja (makin sulit diatur) sehingga masa ini sering dinamakan masa pancaroba.

Masa pancaroba ini pada hakikatnya merupakan tahap akhir sebelum anak memasuki usia dewasa yang matang dan bertanggung jawab, karena ia sudah mengetahui tolok ukur yang harus diikuti dan mampu menetapkan sendiri mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk dan mana yang indah dan jelek.

Tetapi masa pancaroba dalam diri individu itu akan lebih sulit mencapai kemantapan dan kematangan jika kondisi di dunia luar juga pancaroba terus, seperti halnya di era Posmo ini. Dampaknya adalah timbulnya generasi remaja dan dewasa muda yang terus berpancaroba sampai dewasa. Generasi inilah yang saya temui di ruang praktek dengan kebingungan memilih jurusan yang mana, bimbang karena pacarnya tidak disetujui orangtua, kehabisan akal karena hamil di luar nikah atau karena tidak bisa keluar dari kebiasaan menyalah gunakan Narkoba.

Perubahan Paradigma

Menghadapi era Posmo yang serba tidak jelas ini, kesalahan paling besar, tetapi yang justru paling sering dilakukan, adalah mendidik anak berdasarkan tradisi lama dan tanpa alternatif. Artinya, semua yang diajarkan oleh orangtua mutlak harus diikuti, orangtua penya hak dan kekuasaan atas anak, anak harus berbakti kepada orangtua dsb. Di sekolah para guru pun masih sering berpatokan pada pepatah "guru adalah digugu/dipatuhi dan ditiru), sehingga benar atau salah guru harus selaludipatuhi. Demikian pula dalam bidang agama, bahkan politik (masing-masing elit politik dan kelompok mahasiswa merasa dialah yang paling benar).

Jika dihadapakan terus-menerus dengan pendekatan otoriiter, maka anak-anak yang sedangserba kebingungan akan makin bingung sehingga makin tidak percaya diri, atau justru makin memberontak dan menjadi pelanggar hukum. Karena itu dalam era sistem Makro yang diwaranai oleh Posmo ini, pendidikan pada anak harus berorientasi pada pengembangan kemampuan anak untuk membuat penilaian dan keputusan (judgement) sendiri secara tepat dan cepat. Dengan perkataan lain, anak harus dididik untuk menilai sendiri yang mana yang benar/salah, baik/tidak baik atau indah/jelek dan atas dasar itu ia memutuskan perbuatan mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Anak yang dididik untuk selalu mentaati perintah orangtua, dalam pemberrontakannya akan mencari orang lain atau pihak lain (dalam sistem Mikro-nya) yang bisa dijadikannya acuan baru dan selanjutnya ia akan mentaati saja ajakan atau arahan orang lain itu (yang sangat boleh jadi justru menjerumuskan).

Penutup

Harus diakui bahwa menjadi orangtua atau pendidik jaman sekarang sangat sulit. Pertama, karena kebanyakan orantua belum pernah mengalami situasi seperti sekarang ini di masa kecilnya; kedua, karena mereka cenderung meniru saja cara-cara mendidik yang dilakukan oleh orangtua atau senior merekasendiri di masa lalu; dan yang ketiga, memang sangat sulit untuk mengubah pola pikir seseorang dari pola pikir tradisional dan pola pikir alternatif sesuai dengan tuntutan jaman sekarang.

Tetapi bagaimana pun berat dan sulitnya, upaya itu harus dilakukan, karena kalau tidak maka kita akan menjerumuskan generasi muda kita dalam kesulitan yang lebih besar.


Sumber : Pendidikan.net

DAFTAR PUSTAKA

  1. Crow, D. Lester, .Crow, Alice: Kasijan Z.. Psikologi Pendidikan. PT. Bina Ilmu. 1984
  2. Djamarah, Syaiful Bahri. Psikologi Belajar. Rineka Cipta. 2002.
  3. Eggen ,P., Kauchak, D.. Educational Psychology,Third Edition. Prentice Hall. 1997.
  4. Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, edisi Revisi. Remaja Rosdakarya, 1997.
  5. Suryabrata, S..Psikologi Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada. 1995.

dan sumber lainnya:


Ucapan Terima Kasih:

Kepada Orang Tua yang senantiasa memberikan dorongan moril dan materil, Guru-guru terkasih yang senantiasa memberikan ilmu dan pengalamannya untuk masa depan kami yang lebih baik, kawan-kawan semuanya!

Terus Bersemangat dan pantang menyerah!


Arip Nurahman

Guru dan Dosen Profesional