Disusun dan Diedit oleh:
Arip Nurahman
Departmen Pendidikan Fisika, FPMIPA, Indonesia University of Education
Secara garis besar, problem rendahnya mutu pengajaran karena dua hal yakni, pertama, faktor internal, guru yang sejatinya sebagai tenaga profesional yang terdidik dan terlatih belum mampu menunjukkan kompetensi-kompetensi tersebut. Hal itu menjadikan proses belajar mengajar pun akan terganggu. Sebab, tugas guru tak hanya mengajar, tetapi juga mendidik serta seorang manajer di suatu kelas. Dalam proses mendidik inilah nilai-nilai moral semestinya diterapkan pada jiwa peserta didik. Nah, jika hal yang demikian tentunya dimulai dari para pendidik dan tenaga kependidikan.
Kedua, faktor eksternal. Profesi guru, seperti diketahui, adalah suatu pekerjaan yang mulia. Saking mulianya, guru, seringkali, benar-benar mengabdikan dirinya untuk satu sekolah tertentu meskipun honor yang didapatkan sangat minim sekali bahkan lebih kecil dari seorang buruh pada umumnya. Awalnya barangkali atas nama pengabdian, namun tak dapat dipungkiri bahwa guru juga harus memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Oleh karena gaji yang diterima tidak mencukupi kebutuhan fisiologisnya, maka tak sedikit guru yang 'nyambi' dengan pekerjaan lainnya. Dengan begitu, konsentrasi guru menjadi menurun karena terdesak pemenuhan ekonominya. Pendek kata, kesejahteraan guru kurang memadai sehingga berakibat merosotnya mutu pengajaran. Lha, bagaimana seorang guru bisa melakukan tugasnya dengan tenang jika masih pusing-pusing memikirkan cara untuk memenuhi kebutuhan pokoknya?
Selain itu, anggapan bahwa para orang tua anak didik adalah orang yang telah membayar upah para guru sehingga mereka berhak menuntut macam-macam pada pihak sekolah jika terjadi sesuatu yang tidak beres pada diri anak-anaknya. Padahal, fakta menunjukkan bahwa sumbangan pendidikan yang diberikan tak layak untuk menggaji guru yang telah berkorban jiwa dan raga. Sementara orang tua murid hanya menyerahkan sepenuhnya tanpa mengontrol perkembangan anak-anaknya. Perlu diketahui juga, bahwa Tuhan memperingatkan manusia untuk memelihara diri sendiri dan keluarganya, (QS. 66: 6) yang berarti bahwa orang tua juga ikut bertanggung jawab atas segala sesuatu yang bersangkutan dengan anak-anaknya terutama dalam hal pendidikan.
Di lain pihak, guru dituntut untuk memberikan yang terbaik bagi peserta didiknya. Untuk mencapai tujuan pendidikan adalah tak semudah yang seperti dibayangkan, akan tetap diperlukan proses yang cukup panjang dan rumit. Dengan meminjam istilah Mohammad Uzer Usman (2002), bahwa guru yang profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal. Jelasnya, untuk menjadi guru yang profesional dapat dikatakan gampang-gampang susah. Karena ia mesti memiliki sekian kemampuan yang spesifik, baik menyangkut materi maupun nonmateri. Ada yang berpendapat bahwa metode lebih penting daripada materi itu sendiri. Susah memang jika guru tidak menguasai strategi atau teknik mengajar yang baik, tapi penguasaan bahan ajar pun juga tidak boleh diabaikan.
Dari itu, sedikitnya ada lima kriteria yang harus dimikili dan dilakukan oleh guru profesional, yaitu menguasai materi kurikulum, mengaplikasikan materi dalam kehidupan sehari-hari, menguasai metodologi pengajaran dan evaluasi, serta bersikap displin, giat, dan loyal pada tugasnya sebagai guru. Dengan demikian, diharapkan guru mampu mengembangkan segala potensi dalam dirinya dengan baik sesuai dengan strategi belajar mengajar yang telah ada.
Dalam proses pencapaian menuju mutu pengajaran yang lebih meningkat maka langkah-langkah positif yang efektif dan efesien perlu dipersiapkan dan diterapkan oleh guru. Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya (1997) menjelaskan empat masalah pokok yang sangat penting yang dapat menjadikan pedoman dalam keberhasilan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Yaitu, pertama, menentukan sasaran dari kegiatan belajar mengajar. Kedua, memilih cara pendekatan belajar mengajar yang dianggap paling efektif untuk mencapai sasaran. Ketiga, memilih dan menetapkan prosedur, metode dan teknik belajar mengajar yang dianggap tepat. Keempat, menetapkan norma-norma atau kriteria keberhasilan sehingga guru mempunyai pegangan yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai sampai sejauhmana keberhasilan tugas-tugas yang dilakukannya.
Keberhasilan dalam mutu pengajaran sulit terwujud jika guru tidak mendapat support dari berbagai pihak. Guru dan orang tua peserta didik seyogyanya berrsama-sama membina interaksi yang harmonis guna tercapai keberhasilan belajar-mengajar. Tak ketinggalan juga pihak pemerintah baik pusat maupun daerah seharusnya memonitoring pelaksanaan pendidikan yang ada di tiap-tiap daerah. Adalah tidak fair jika pemerintah mengeluarkan dan menetapkan kurikulum di sekolah, namum pihaknya tidak meninjau dan mengevaluasi pelaksanaan kurikulum tersebut, apakah sudah memenuhi harapan atau belum sama sekali.
Berbicara mengenai konsep kurikulum yang sering berganti-ganti, agaknya patut dipertanyakan leibh lanjut. Jika yang masalahnya adalah mutu pengajaran masih rendah, mengapa mesti kurikulum yang diubah? Padahal, proses untuk mencapai kualitas pengajaran agar lebih meningkat, perlu memandang berbagai faktor pendukung pendidikan. Perubahan kurikulum (baca: materi) saja tak cukup untuk menggapai tujuan pendidikan, jika faktor-faktor lainnya tidak diubah. Misalnya, guru mengajar salah pelajran bahasa Inggris dengan metode ceramah dalam kelas, sehingga terjadi monolog yang membosankan dari sang guru. Kemudian, setelah diadakan ujian pelajaran tersebut, banyak siswa yang tidak lulus alias mendapat nilai yang mengecewakan. Nah, apakah hal ini berarti bahwa materi atau pelajaran tersebut sudah tidak layak lagi, terbukti para siswa gagal memperoleh nilai yang bagus dalam mata pelajaran tersebut? Tentunya perlu ditinjau dahulu dari faktor guru dan metode pengajarannya, apakah sudah memenuhi kriteria atau belum. Baru kemudian dilihat ulang bagaimana sebenarnya kurikulum yang telah ditetapkan itu, masih up to date atau sudah usang untuk menjawab problemantika kekinian.
Maka dari itu, guru mau tidak mau harus siap-siap menggaapai segala tantangan dan proemtantika yang terus muncul. Yang penting adalah bukan bagaiaman cara menghindari masalah, tapi bagaiamana memecahkan masalah dengan kepala dingin dan tenang tanpa dihinggapi sausananya yang memanas. Sebab, disadari atau tidak, guru itu selayaknya patut dijadikan suri tauladan bagi tak hanya anak-anak didiknya tapi juga masyarakat dimana ia berada. Dan, hal tersebut membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit. Guru, meski secara jujur diakui, kadang-kadang hidup di dalam suasana keprihatinan, namun alangkah tidak bijaksananya jika hal semacam itu menyurutkan semangatnya untuk mencerdaskan bangsa.
Melihat fenomena yang terjadi di atas, tampaknya julukan yang disandang oleh guru yaitu pahlwan tanpa tanda jasa, menurut hemat penulis sudah tidak relevan dengan keadaan sekarang ini. Kalau boleh usul, 'embel-embel' itu diganti dengan, guru adalah sang pahlawan sejati yang patut dihormati dan diteladani serta senantiasa berjasa seumur hidup. Dengan demikian profesi guru, meski bukan tergolong profesi yang diminati banyak orang, setidaknya masyarakat menghormati dan menghargai serta menjunjung tinggi segala ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh para guru dan juga para tenaga kependidikan.
1. Masalah Kualitas Guru
Kualitas guru Indonesia, saat ini disinyalir sangat memprihatinkan. Berdasarkan data tahun 2002/2003, dari 1,2 juta guru SD saat ini, hanya 8,3%nya yang berijasah sarjana. Realitas semacam ini, pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi masalah, dimana seorang guru (khususnya SD), sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran (guru kelas) yang tidak jarang, bukan merupakan inti dari pengetahuan yang dimilikinya, hal seperti ini tentu saja dapat mengakibatkan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal.
2. Jumlah Guru yang Masih Kurang
Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang, apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini, dirasakan masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu raung kelas sering di isi lebih dari 30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang maksimal.
3. Masalah Distribusi Guru
Masalah distribusi guru yang kurang merata, merupakan masalah tersendiri dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di daerah-daerah terpencil, masing sering kita dengar adanya kekurangan guru dalam suatu wilayah, baik karena alasan keamanan maupun faktor-faktor lain, seperti masalah fasilitas dan kesejahteraan guru yang dianggap masih jauh yang diharapkan.
4. Masalah Kesejahteraan Guru
Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa tingkat kesejahteraan guru-guru kita sangat memprihatinkan. Penghasilan para guru, dipandang masih jauh dari mencukupi, apalagi bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagian para guru untuk mencari penghasilan tambahan, diluar dari tugas pokok mereka sebagai pengajar, termasuk berbisnis di lingkungan sekolah dimana mereka mengajar.
Peningkatan kesejahteaan guru yang wajar, dapat meningkatkan profesinalisme guru, termasuk dapat mencegah para guru melakukan praktek bisnis di sekolah.
Kedudukan, Fungsi, Tugas, dan Tujuan Seorang Guru
Bab II Pasal 2 Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menyebutkan bahwa: (1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud.
Maksud dari ayat di atas menyebutkan bahwa guru adalah orang yang mendalami profesi sebagai pengajar dan pendidik, mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk memberikan kontribusi. Umumnya guru merujuk pada pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi hasil belajar siswa peserta didiknya. Tugas guru yang diemban timbul dari rasa percaya masyarakat terdiri dari mentransfer kebudayaan dalam arti yang luas, ketrampilan menjalani kehidupan (Life skills), terlibat dalam kegiatan-kegiatan menjelaskan, mendefinisikan, membuktikan dan mengklasifikasikan, selain harus menunjukkan sebagai orang yang berpengetahuan luas, trampil dan sikap yang bisa dijadikan panutan. Maka dari itu, guru harus memiliki kompetensi dalam membimbing siswa untuk siap menghadapi kehidupan yang sebenarnya (The real life) dan bahkan mampu memberikan keteladanan yang baik.
Undang-Undang No 14 tahun 2005, pasal 4 mengisyaratkan bahwa Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran yang berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Pasal 6 menyebutkan bahwa Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Di samping itu guru mempunyai tugas utama sebagai berikut:
a) Menyusun perencanaan pembelajaran;
b) Menyampaikan perencanaan;
c) Melakukan hubungan baik dengan sesama teman seprofesi, maupun dengan masyarakat;
d) Mengelola kelas yang disesuaikan dengan karakterstik peserta didik;
e) Melakukan penelitian dan inovasi dalam pendidikan, dan memanfaatkan hasilnya untuk kemajuan pendidikan;
f) Mendidik siswa sehingga mereka menjadi manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika, bangsa, masyarakat, dan agama;
g) Melaksanakan program bimbingan konseling, dan administrasi pendidikan;
h) Mengembangkan diri dalam wawasan, sikap, dan ketrampilan profesi; dan
i) Memanfaatkan teknologi, lingkungan, budaya, dan sosial, serta lingkungan alam dalam proses belajar.
Sumber: