Tampilkan postingan dengan label Berpikir Kritis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berpikir Kritis. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Oktober 2013

Diskriminasi Gender dalam Perspektif Feminisme IV

D. FEMINISME DI INDONESIA 

Dalam perkembangannya disetiap negara, feminisme tidak selalu bertahan dengan konsep-konsep aliran yang ada. Namun, perspektif feminis yang terbentuk umumnya menyesuaikan dengan pola pikir dan adat setempat. 

Di Indonesia sendiri gerakan Feminisme masih terbilang baru. Di Indonesia para feminism masih menjadi euphoria, belum ada rumusan khusus bagaimana pola pergerakan feminisme yang ada di Indonesia. Karena rumusan yang masih samar inilah, para perempuan yang mencoba untuk mandiri cenderung mengadopsi konsep feminisme barat secara mentah. 

Mereka mengembangkan karir, mencoba meraih puncak tertinggi dalam suatu struktur kekuasaan. Akhir-akhir ini perempuan Indonesia merasa patut berbangga, karena sudah banyak kaumnya yang menempati posisi penting bahkan posisi tertinggi baik itu di bidang pemerintahan, ekonomi, entertainment, juga militer, keamanan, dll. 

Namun adakalanya kita melupakan fakta bahwa rata-rata mayoritas perempuan tersebut memiliki kehidupan rumah tangga yang tidak sesukses kehidupan karirnya. Inilah yang disebut euphoria feminism, ketika feminism diartikan secara mentah dan kasar tanpa dimaknai tujuan sesungguhnya dan tanpa diadaptasikan dengan adat atau norma yang berlaku. 

Kecenderungan perempuan modern yang mengejar karir, membawa mereka melupakan peranan mereka dalam rumah tangga. Perempuan-perempuan ini lebih sibuk memikirkan bagaimana mencapai posisi yang sejajar dengan rekan laki-lakinya, bahkan mereka cenderung menginginkan posisi lebih diatas laki-laki. 

Mereka terlalu sibuk memikirkan strategi politik, keuntungan ekonomi dan manajemen perusahaan, daripada memikirkan siapa yang mengurusi kebutuhan suami dan anaknya dirumah. Sebuah pengadilan agama di Jakarta, menyebutkan mayoritas faktor perceraian yang diajukan oleh suami adalah karena adanya ketimpangan penghasilan, kelalaian istri dalam rumah tangga dan perselingkuhan. Ketimpangan penghasilan suami dan istri dimana penghasilan istri lebih besar daripada penghasilan suami, kecenderungan yang terjadi adalah ambisi istri yang merasa lebih mampu sehingga ia pantas mengatur suami.
Hal ini memberikan efek depresi dan tekanan psikologis kepada suami, sehingga muaranya adalah keputusan untuk bercerai. Banyaknya kasus perceraian karena faktor-faktor tersebut, membuktikan bahwa rata-rata perempuan yang berambisi mengejar karir cenderung mengorbankan kehidupan rumah tangganya. 

Di Indonesia sendiri, adat dan norma yang berlaku menempatkan perempuan sebagai kunci sukses kehidupan berumah tangga. Karena itulah meski dianggap sebagai diskriminasi gender, perempuan sejak kecil lebih dipersiapkan untuk kehidupan berumah tangga. Semua agama yang ada di Indinesia, juga mengatur peran perempuan sebagai pendukung suami dan pendidik anak. Kecenderungan feminisme di Indonesia yang mengutamakan karir dan mengesampingkan rumah tangga, bukan saja menyalahi norma adat, tapi juga menyalahi norma agama. Karena itu, perlu adanya perumusun dengan perspektif feminis tentang bagaimana seharusnya perempuan Indonesia menempatkan dirinya dalam memperoleh keadilan gender dan memberikan pengabdian terbaik bagi kehidupan rumah tangga. 

Feminsime di Indonesia harus dimaknai dan diadaptasi dengan norma-norma yang ada dimasyarakat. Boleh saja seorang perempuan memiliki posisi penting di suatu struktur kekuasaan. Namun, yang harus diperhatikan oleh perempuan Indonesia adalah ia harus sadar bahwa ia memiliki peranan yang jauh lebih penting sebagai seorang istri yang menjaga kehormatan keluarga dan mendukung suami, serta sebagai seorang ibu yang mendidik generasi terbaik untuk bangsa Indonesia. Fakta menyebutkan bahwa hingga detik ini diskriminasi gender masih tetap ada di sekitar kita. Diskriminasi yang terjadi tidak terlepas dari pola pemikiran dan keyakinan yang memang sudah berkembang sejak lama. Tidak mudah untuk merubah pola ini. 

Namun, usaha untuk menjernihkannya harus segera dimulai. Sebagai kaum intelek yang tengah tumbuh bersama modernisasi dan globalisasi, sepatutnya masyarakat Indonesia menyadari bagaimana menanggapi permasalahan diskriminasi gender ini dengan pikiran jernih. Karena Perempuan dan laki-laki memang beda, tapi bukan untuk dibeda-bedakan. Munculnya pergerakan perempuan menjadi suatu rumusan perubahan untuk mengurangi bias gender dan diskriminasi gender yang ada. 

Namun, perubahan tersebut tidak harus serta merta mengadopsi konsep feminisme yang berkembang di luar negeri. Bagaimanapun juga konsep feminisme di Indonesia, harus disesuaikan dengan adat dunia timur yang menjunjung tinggi kesetiaan dan peren seorang anak perempuan, seorang istri dan seorang Ibu. 
The End Posted by: Fazar Shiddieq Karimil Fathah

Minggu, 08 September 2013

Diskriminasi Gender dalam Perspektif Feminisme III


C. PERGERAKAN PEREMPUAN DAN FEMINISME 

Gerakan perempuan memiliki tujuan untuk memperjuangkan hak kaum perempuan sebagai manusia yang memiliki kemampuan. Sementara Feminisme, merupakan suatu pergerakan yang melihat suatu permasalahan dari sudut pandang feminis dan untuk kepentingan kaum perempuan. Awal gerakan perempuan di dunia tercatat di tahun 1800-an . 

Ketika itu para perempuan menganggap ketertinggalan mereka disebabkan oleh kebanyakan perempuan masih buta huruf, miskin dan tidak memiliki keahlian. Karenanya gerakan perempuan awal ini lebih mengedepankan perubahan sistem sosial dimana perempuan diperbolehkan ikut memilih dalam pemilu. 

Tokoh-tokoh perempuan ketika itu antara lain Susan B. Anthony, Elizabeth Cady Stanton dan Marry Wollstonecraft. Bertahun-tahun mereka berjuang, turun jalan dan 200 aktivis perempuan sempat ditahan, ketika itu. Seratus tahun kemudian, perempuan-perempuan kelas menengah abad industrialisasi mulai menyadari kurangnya peran mereka di masyarakat.

Mereka mulai keluar rumah dan mengamati banyaknya ketimpangan sosial dengan korban para perempuan. Pada saat itu benbih-benih feminsime mulai muncul, meski dibutuhkan seratus tahun lagi untuk menghadirkan seorang feminis yang dapat menulis secara teoritis tentang persoalan perempuan. 

Adalah Simone de Beauvoir, seorang filsuf Perancis yang menghasilkan karya pertama berjudul The Second Sex. Dua puluh tahun setelah kemunculan buku itu, pergerakan perempuan barat mengalami kemajuan yang pesat. Persoalan ketidakadilan seperti upah yang tidak adil, cuti haid, aborsi hingga kekerasan mulai didiskusikan secara terbuka. Pergerakan perempuan baik di tahun 1800-an maupun 1970-an telah membawa dampak luar biasa dalam kehidupan sehari-hari perempuan. 

Tetapi bukan berarti perjuangan perempuan berhenti sampai di situ. Wacana-wacana baru terus bermunculan hingga kini. Perjuangan perempuan adalah perjuangan tersulit dan terlama, berbeda dengan perjuangan kemerdekaan atau rasial. Hingga saat ini, Feminisme terbagi menjadi banyak aliran. Tiap aliran umumnya memiliki perspektif sendiri dalam menghadapi permasalahan dan permasalahan yang dapat dipecahkan pun hanya sebagian saja.


Artinya untuk menyelesaikan semua permasalahan terkait perempuan, harus menggunakan banyak perspektif. Misalnya konsep otonomi dari kubu feminis radikal berkaitan dengan gerakan antikolonial, sementara kubu feminis liberal menekankan pada pentingnya memperjuangkan kesetaraan hak-hak perempuan dalam kerangka bermasyarakat dan berpolitik yang plural. Inilah mengapa feminis selalu bercampur dengan tradisi politik yang dominan di suatu masa. 

Hingga bila dipilah-pilah berdasarkan tradisi politik yang berkembang, maka aliran-aliran dalam femninisme dapat dibedakan ke dalam kubu-kubu sebagai berikut.

1. Feminisme radikal

2. Feminisme liberal. 

3. Feminisme sosialis atau feminisme Marxis: perempuan lebih dipandang dari sudut teori kelas, sebagai kelas masyarakat yang tertindas. 

4. Feminisme ras atau feminisme etnis: yang lebih mengedepankan persoalan pembedaan perlakuan terhadap perempuan kulit berwarna. 

Di luar kecenderungan tradisi politik di atas, berkembang pula ragam feminisme karena pendekatan teori dan kecenderungan kelompok sosial tertentu, seperti: 

5. Feminisme psikoanalisis, dan 

6. Feminisme lesbian. 


Dari semua aliran yang ada di atas, masih berpotensi untuk berkembang menjadi beberapa beberapa sempalan aliran lain, dan seperti yang telah diungkapkan di atas, wacana feminisme dan gerakan perempuan akan terus berkembang seiring dengan ragam perkembangan kelas masyarakat yang memperjuangkannya, kecenderungan kondisi sosial politik, serta kepentingan yang membingkai perjuangan tersebut. Namun ada dua kategori kecenderungan besar yang dapat disebutkan dan cukup dikenal dan berpengaruh hingga sekarang, yakni: fenimisme ortodoks dan postfeminisme.

A. Feminisme ortodoks Aliran ini berkarakter sangat fanatik dan ortodoks dengan penjelasan-penjelasan wacana patriarkhal. Kaum feminis garis keras ini begitu yakin bahwa segala sesuatu yang menyusahkan dan menindas perempuan berhubungan dengan patrarkhal, hingga segala argumen hanya bertumpu pada penjelasan patrarkhal. 

Camille Paglia seorang profesor studi kemanusiaan dari Universitas Philadelphia mengkritik sikap feminis ortodoks sebagai kelompok yang selalu menganggap perempuan sebagai korban. Bagi kalangan feminis ortodoks feminisme diartikan sebagai identifikasi dengan keinginan kesetaraan gender lewat perjuangan historis yang dicapai dengan advokasi melalui kegiatan politik. 

Feminisme memperlihatkan adanya perbedaan antara femnin dan maskulin yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Sedangkan jantan (male) dan betina (female) merupakan aspek biologis yang menentukan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Perbedaan linguistik ini bagi feminis ortodoks dianggap sebagai sesuatu yang ideologis. Sedangkan bagi kalangan postfeminisme dianggap sebagai masalah. 

Contoh dalam penanganan kasus pemerkosaan atau kekerasan terhadap perempuan misalnya, mereka akan mengandalkan argumen-argumen kelemahan perempuan, korban yang harus selalu duilindungi dan selalu mengalami ketidakadilan dari masyarakat yang patriarkhal. Argumen semacam ini terkesan manipulatif dan tidak bertanggung jawab. 

Kalangan ini banyak diwakili oleh femnistes revolusionares (FR) yang berdiri sejak tahun 1970 yang merupakan bagian dari Movement de Libaration des Femmes (MLF) atau gerakan pembebasan perempuan. Kelompok FR ini tidak menggunakan pendekatan psikoanalisa dan sangat mengagungkan kesetaraan serta rata-rata didukung kalangan lesbian. Teori dasar kelompok FR adalah menentang determinisme biologis, yaitu perempuan tersubordinasi dengan norma-norma maskulin, karena haluan ini (determinsime biologis) menurut mereka merujuk pada pandangan tradisional esensialisme. 

Teori ini (tradisonal esensial) menekankan bahwa perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan adalah fixed atau kodrat yang tidak dapat berubah. Sementara menurut FR perbedaan terjadi karena masyarakat patriarkhi menganggap perempuan sebagai “the other” dalam tataran biologis dan psikis.

B. Postfemnisme Kecenderungan feminisme ortodoks yang selalu melihat perempuan sebagai makhluk lemah tak berdaya dan korban laki-laki ini, tidak dapat diterima oleh perempuan-perempuan muda tahun 1900-an dan 2000 di beberapa negara maju. Retorika feminisme yang melekat pada “ibu-ibu” mereka terutama di tahun 70-an di daratan Amerika dan Inggris telah membuat generasi kuda “bosan” dengan femnisme. 

Feminisme sekan menjadi ukuran moralistik dan politik seseorang dan menjadi pergerakan kaum histeris, serta sangat mudah untuk menuduh dan melabeling seseorang dengan atribut “tidak femnis”. Kelompok inilah yang kemudian memperjuangkan postfeminisme. Bahkan embrio kelompok ini sudah mulai muncul di tahun 1968 di Paris, tepatnya ketika mereka (kelompok anggota po et psych/ politique et psychoanalyse) turun ke jalan pada Hari Perempuan tanggal 8 Maret 1968 dan meneriakkan : Down with feminism. Sejak tahun 1960 kelompok postfeminis ini telah berusaha mendekonstruksi wacana pastriarkhal terutama wacana yang dikembangkan oleh feministes revolutionnaires (FR). 

Bagi kelompok po et psych, posisi FR yang memakai semangat humanisme, jatuh lagi pada esensialisme yang mempunyai kategori fixed. Oleh karenanya po et psych mengadopsi teori psikoanalisa Freud yang mencoba menggunakan metode dekonstruksi dalam melihat teks-teks ketertindasan perempuan. Selain itu kelompok ini tidak menekankan pada kesetaraan (equality) seperti kelompok FR, yaitu identitas dan gender, tetapi lebih menekankan pada perbedaan (diffrence). 

Di sini dapat dipahami bila postfeminisme membawa paradigma baru dalam feminisme, dari perdebetan seputar kesetaraan ke perdebatan seputar perbedaan. 

To Be Continued

Posted by: Fazar Shiddieq Karimil Fathah

Kamis, 01 Agustus 2013

Diskriminasi Gender dalam Perspektif Feminisme II

B. DISKRIMINASI GENDER 

Diskriminasi gender yang akan dibahas disini adalah antara laki-laki dan perempuan. Sejarah mencatat bagaimana kaum perempuan mendapatkan perlakuan yang berbeda dari keluarga maupum masyarakat. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, seperti marjinalisasi perempuan, pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam pengambilan keputusan politik, stereotipi, diskriminasi, pelabelan negatif, kekerasan, pemberian kerja yang lebih banyak, serta sosialisasi terhadap peran gender. 

Di masa lampau, banyak cerita tentang bagaimana perempuan di marjinalkan bahkan cenderung direndahkan. Masyarakat Arab, Yunani dan Romawi Kuno menjadikan perempuan selayaknya barang yang bisa diserahkan kepada siapa saja dan diperlakukan sesuka ayah atau suaminya. 

Hal tersebut dikarenakan perempuan dianggap memiliki fisik yang lemah, sehingga sebuah keluarga akan merasa beruntung jika memiliki anak laki-laki, sebaliknya, mereka merasa rugi saat yang dilahirkan adalah perempuan. Berbagai bentuk ketidakadilan gender yang terjadi di masyarakat, terutama yang diterima oleh kaum perempuan biasanya terbentuk karena sudah menjadi kebiasaan. Misalnya dalam suatu keluarga, pendidikan anak laki-laki lebih diutamakan daripada anak perempuan. 

Perempuan dianggap irrasional dan emosional sehingga tidak boleh dijadikan pemimpin dan mendapat posisi yang tidak penting. Selain itu adapula stereotipi dan pelabelan negatif terhadap perempuan. 

Misal, perempuan yang menjadi janda, nantinya akan menggoda suami orang. Hal ini jadi masalah karena hanya gara-gara perilaku segelintir janda, maka semua janda menerima imbas label negatif yang tentu saja merugikan. Permasalahan diskriminasi yang muncul di masa modern ini adalah di bidang profesi. Di Indonesia sendiri, apabila seorang perempuan melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh laki maka hal tersebut masih dianggap tidak pantas.

To Be Continued

Posted by: Fazar Shiddieq Karimil Fathah

Selasa, 01 Maret 2011

Berpikir Kritis III


Mahasiswa Berbakti Untuk Pendidikan

Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang
(An Evaluation and Criticism )



Critical Thinking Resources

What Is Critical Thinking?


As the basis for our Quality Enhancement Plan (QEP), critical thinking has been identified as a key to successful learning outcomes for our students. Angelina College defines Critical Thinking as the dynamic process of questioning preconceptions and biases through the gathering and evaluation of data to reach new conclusions that consider realistic implications and consequences.

Although there are several models and strategies that promote critical thinking, one model should be utilized to facilitate consistency and a common understanding for curriculum design and evaluation. The curriculum at Angelina College will reflect the model prescribed by Richard Paul and Linda Elder. This model of critical thinking is built on a foundation of three concepts: elements of reasoning, intellectual standards, and intellectual traits.

All thinking consists of parts or elements. When we analyze our thinking or reasoning, we should consider the Elements of Thought/Reasoning:


When checking the quality of our reasoning, Intellectual Standards should be applied to our thinking:



Our thinking should reflect the following characteristics or Intellectual Traits:



For more information regarding Paul/Elder Model of Critical Thinking, visit :

The Foundation for Critical Thinking
www.criticalthinking.org


General Critical Thinking Resources


Assessment Tools and Resources

Angelo, T. A. & Cross, K. P. (1993). Classroom assessment techniques: A handbook for college teachers. Jossey-Bass.

Huba, M. E. & Freed.J. E. (2000). Learner Centered Assessment on College Campuses: Shifting the focus from Teaching to Learning. Allyn and Bacon.

Books

Boyd, Robert. (2002). Critical reasoning and logic. Prentice Hall.

Epstein, Richard, L. (2005). Critical thinking. Wadsworth.

Hiler, Wesley & Paul, Richard. (2005). Active and cooperative learning, (2nd ed.). Foundation of Critical Thinking.

McWhorter, Kathleen, T. (2006). Study and critical thinking skills in college, (6th ed.). Pearson Education, Inc.

Nosich, Gerald, M. (2005). Learning to think things through: A guide to critical thinking across the curriculum. Prentice Hall.

Paul, Richard & Elder, Linda. (2005). The miniature guide to critical thinking: Concepts and tools. Foundation for Critical Thinking.

Paul, Richard & Elder, Linda. (2003). How to improve student learning: 30 practical ideas. Foundation for Critical Thinking.

Paul, Richard & Elder, Linda. (2004). The art of strategic thinking: 25 weeks to better thinking and better living. Foundation for Critical Thinking.

Paul, Richard & Elder, Linda. (2003). How to write a paragraph, (5th ed.). Foundation for Critical Thinking.

Paul, Richard & Elder, Linda. (2006). How to read a paragraph. Foundation for Critical Thinking.

Paul, Richard & Elder, Linda. (2005). The miniature guide to the art of asking essential questions, (3rd ed.). Foundation for Critical Thinking.

Paul, Richard & Elder, Linda. (2001). How to study and learn a discipline. Foundation for Critical Thinking.

Ruggiero, Vincent, R. (2006). Becoming a critical thinker, (5th ed.). Houghton Mifflin Company.

Walter, Timothy, L., Knudsvig, Glenn M., & Smith, Donald E. (2002). Critical thinking: Building the basics. Wadsworth.

Handouts

How to Improve Student Learning (by Dr. Rochelle Brunson of Alvin Community College)


PowerPoint Presentations

Critical Thinking (by Sellestine Hunt and Marianna Duncan)
QEP (by Dr. Laura Hebert)


Websites

Critical Thinking: A Statement of Expert Consensus for Purposes of Educational Assessment and Instruction
http://www.insightassessment.com/pdf_files/DEXadobe.PDF

Critical Thinking Across the Curriculum at Albuquerque TVI Community College
http://planet.tvi.edu/ctac/

Handbook of Resources for the Year of Critical Thinking
http://academic.pg.cc.md.us/~wpeirce/MCCCTR/handbook.pdf

The Foundation for Critical Thinking
www.criticalthinking.org

Washington State Critical Thinking Project
http://wsuctproject.wsu.edu/ph.htm

Surry Community College – Critical Thinking Website
http://www.surry.edu/about/ct/index.html


Websites – Assessment
Rubrics.com
www.rubrics.com

Rubistar
http://rubistar.4teachers.org

teAchnology
www.teach-nology.com/web_tools/rubrics/

Educational Technology
http://edtech.sandi.net

Rubrician
www.rubrician.com

Assessment at SJSU
www.sjsu.edu/ugs/assessment/as-tools.htm

Business Division
(Saundra May, Keith New)


Books

Allen, Roberta & Mascolini, Marcia. (1997). The process of writing: Composing through critical thinking. Prentice Hall.

Kubasek, Nancy, K., Brennan, Bartley, A., & Browne, Neil. (2006). Legal environment of business: A critical thinking approach. Prentice Hall.

Sormunen, C. (1992). Critical thinking in business education. Paper presented at the American Vocational Association Convention, St. Louis, MO, December 1992.
Critical thinking can be evaluated through authentic assessment using a four-step process: clarify reasons for the assessment, clarify performance to be evaluated design exercises, and design a performance rating plan.


Fine Arts Division
(Sabrina Collins, Burlon Wilkerson)


Books

Eyerdam, Pamela, J. (2003). Using internet primary sources to teach critical thinking skills in visual arts. Libraries Unlimited.

Websites

CEDFA – Critical Thinking in Art
http://finearts.esc20.net/art/art_strategies/art_strat_crit.html

CEDFA – Instructional Strategies (Critical Thinking and Problem Solving)
http://www.cedfa.org/teaching/index.php?file=instruction/is_critthinking.txt&expand=3,14

Health Careers Division
(Kathy Hall, Angie Wilcox, Alyssa Bass)


Books

Durand, Kathryn, S. (1999). Critical thinking: Developing skills in radiography. F.A. Davis.

Preusser, Barbara A. (2004). Critical thinking in medical-surgical settings: A case study approach. Elsevier Health Sciences.

LeMone, Priscilla & Burke, Karen. (2003). Medical-surgical nursing: Critical thinking in client care. Prentice Hall.

Lipe, Saundra, K. & Beasley, Sharon. (2003). Critical thinking in nursing: A cognitive skills workbook. Lippincott, Williams, and Wilkins.

Scheffer, Barbara. (2005). Critical thinking tactics for nurses. Jones & Bartlett Publishers, Inc.

White, Lois. (2001). Critical thinking in practical/vocational nursing. Thomson Delmar Learning.

Wilkinson, Judith, M. (2007). Nursing process and critical thinking (4th ed.). Prentice Hall.

Liberal Arts Division
(Joe Ragan, Marianna Duncan,
Diana Throckmorton, Edith Miller)


Books

Barnet, Sylvan & Bedau, Hugo. (2004). Critical thinking, reading, and writing: A brief guide to argument. Bedford/St. Martin’s.

Bensley, D. Alan. (1997). Critical thinking in psychology: A unified skills approach. Wadsworth.

Cromwell, Lucy, S. (1986). Teaching critical thinking in the arts and humanities. Alverno Productions: Milwaukee, Wisconsin.

Halonen, Jane, S. (1995). Teaching critical thinking in psychology. Alverno Productions: Milwaukee, Wisconsin.

Meltzoff, Julian. (1998). Critical thinking about research: Psychology and related fields. American Psychological Association: Washington, D.C.

Shiveley, James, M. & VanFossen, Phillip, J. (2001). Using internet primary sources to teach critical thinking skills in government economics, and contemporary world issues. Libraries Unlimited.


Science and Mathematics Division
(Laura Hebert, Charlotte Barker)


Books

Blitzer, Robert, F. (2005). Thinking mathematically. Prentice Hall.

Bluman, Allan, G. (2003). Critical thinking workbook: Student edition T/a elementary statistics. McGraw-Hill Science/Engineering/Math.

Glazer, E. (2001). Using internet primary sources to teach critical thinking skills in mathematics. Libraries Unlimited.

Johnson, Carolyn. (2003). Using internet primary sources to teach critical thinking skills in the sciences. Libraries Unlimited.

Mendenhall, William & Sincich, Terry. (2007). Statistics for engineers and the sciences. Prentice Hall.

Paul, Richard & Elder, Linda. (2003). Scientific Thinking. Foundation for Critical Thinking.

Sharma, Martha, B. & Elbow, Gary, S. (2000). Using internet primary sources to teach critical thinking skills in geography. Libraries Unlimited.

Technology and Workforce Division
(Jayne McCurry, Tara Newman)


Books

Currier, Katherine, A. & Eimermann, Thomas, E. (2005). Introduction to law for paralegals: A critical thinking approach. Aspen Publishers, Inc.

Jonassen, David, H. (2000). Computers as mindtools for schools: Engaging critical thinking. Prentice Hall.

Kubasek, Nancy, K., Brennan, Bartley, A., & Browne, Neil. (2006). Legal environment of business: A critical thinking approach. Prentice Hall.

Kynell, Theresa, C. & Stone, Wendy, K. (1998). Scenarios for technical communication: Critical thinking and writing. Longman.

Mahlke, V. B. (1993). Design technology in the elementary school. Technology Teacher 53 (3).
The design brief process in technology education begins with authentic situations and enables students to use prior knowledge, research, problem-solving, and other creative thinking skills and observe their learning processes.

Mendenhall, William & Sincich, Terry. (2007). Statistics for engineers and the sciences. Prentice Hall.

Peers, M. G. (1993). A teacher/researcher's experience with performance-based assessment as a diagnostic tool. Journal of Reading 36 (7).
Vocational students in a composition class devise a solution to a hypothetical problem that is scored on several dimensions.

Sormunen, C. (1992). Critical thinking in business education. Paper presented at the American Vocational Association Convention, St. Louis, MO, December 1992.
Critical thinking can be evaluated through authentic assessment using a four-step process: clarify reasons for the assessment, clarify performance to be evaluated design exercises, and design a performance rating plan.

Websites

Authentic Assessment in Vocational Education
http://www.calpro-online.org/ERIC/docgen.asp?tbl=archive&ID=A017

Factors Affecting Technological Trouble Shooting Skills by Randall T. MacPherson (Boeing Rotorcraft Company) http://scholar.lib.vt.edu/ejournals/JITE/v35n4/macpherson.html



Hubungan:
1.www.banjarcyberschool.co.cc
2.Fisika Bumi Siliwangi Innovation, Research and Development Center
3.Speech from:
Prof. Eisuke Saito Ph.D. (The First International Seminary on Lesson Study, JICA, Japan International Cooperation Agency)
4.Bpk. Taufik Hidayat M.Sc., Ph.D.
(Dosen FPMIPA UPI, Doktor Bioteknologi dari Tokyo University)
5.The Sundanese Cyber School Alliance

References:

# ^ According to the Oxford English Dictionary, the earliest uses of "critical" (1580) had acquired negative connotations. By 1650, however, it was being used in the sense of "involving or exercising careful judgment or observation," though the OED calls this sense obsolete "or merged in other senses." The phrase "critical thinking" appears to be an example of the survival of this positive sense.
# ^ Edward M. Glaser, An Experiment in the Development of Critical Thinking, Teacher’s College, Columbia University, 1941.[page # needed]
# ^ Paul, Dr. Richard; Elder, Dr. Linda, The Miniature Guide to Critical Thinking Concepts and Tools. Dillon Beach: Foundation for Critical Thinking Press, 2008. ISBN 978-0944583104.[page # needed]
# Damer, T. Edward. Attacking Faulty Reasoning, 5th Edition, Wadsworth, 2005. ISBN 0-534-60516-8
# Dauer, Francis Watanabe. Critical thinking: an introduction to reasoning
# Facione, P. 2007. Critical Thinking: What It Is and Why It Counts - 2007 Update
# Facione, PA, Facione, NC, and Giancarlo, CA.(2000). The Disposition Toward Critical Thinking: Its Character, Measurement, and Relationship to Critical Thinking Skill. Informal Logic, Volume 20, Number 1, pp 61-84.
# Hamby, B.W. The Philosophy of Anything: Critical Thinking in Context. Kendall Hunt Publishing Company, Dubuque Iowa, 2007. ISBN 978-0-7575-4724-9

See also

Footnotes

  1. ^ According to the Oxford English Dictionary, the earliest uses of "critical" (1580) had acquired negative connotations. By 1650, however, it was being used in the sense of "involving or exercising careful judgment or observation," though the OED calls this sense obsolete "or merged in other senses." The phrase "critical thinking" appears to be an example of the survival of this positive sense.
  2. ^ Edward M. Glaser, An Experiment in the Development of Critical Thinking, Teacher’s College, Columbia University, 1941.[page # needed]
  3. ^ Paul, Dr. Richard; Elder, Dr. Linda, The Miniature Guide to Critical Thinking Concepts and Tools. Dillon Beach: Foundation for Critical Thinking Press, 2008. ISBN 978-0944583104.[page # needed]
  4. ^ William Graham Sumner, Folkways, 1906.[page # needed]
  5. ^ About The California Critical Thinking Disposition Inventory by Thomas F. Nelson Laird, Indiana University Center for Postsecondary Research
  6. ^ Research on Sociocultural Influences on Motivation and Learning, page 46
  7. ^ Critical Thinking FAQs from Oxford Cambridge and RSA Examinations
  8. ^ "Thinking Skills", University of Cambridge Local Examinations
  9. ^ "New GCEs for 2008", Assessment and Qualifications Alliance
  10. ^ Lion Gardiner, Redesigning Higher Education: Producing Dramatic Gains in Student Learning, in conjunction with: ERIC Clearinghouse on Higher Education, 1995

References

  • Whyte, J. 2003. Bad Thoughts - A Guide to Clear Thinking. Published by Corvo. ISBN 0-9543255-3-2.

External links


Ucapan Terima Kasih:
1. Dra. Roswati Mudjiarto M.Pd.

(Dosen Senior di Jurusan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia) Sebagian tulisan ini adalah atas motivasi beliau


2.Bpk. Taufik Hidayat M.Sc., Ph.D.
(Dosen FPMIPA UPI, Doktor Bioteknologi dari Tokyo University)


3. Yusuf Kurniawan S.Pd.*

( Seorang Pendidik di SMKN Raja Desa)


Disusun Ulang Oleh:
1.Agung Febrianto (Mahasiswa Ekonomi UNSOED)
2. Ade Akhyar N. (Mahasiswa Teknik Geology UNSOED)
3. Riki (Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Indonesia)
4. Kurniawan (Mahasiswa STIK Bina Putera Banjar)
5. Arip Nurahman (Mahasiswa Pendidikan Fisika FPMIPA UPI, Follower Open Course Ware At MIT-Harvard University. USA.)

Semoga Bermanfaat dan Terima Kasih



Selasa, 01 Februari 2011

Berpikir Kritis II


Mahasiswa Berbakti Untuk Pendidikan
Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang
(An Evaluation and Criticism )

Contents

Strategi Berpikir Kritis di dalam Belajar

Studi berpikir kritis suatu subyek atau masalah dengan pengertian yang luas (terbuka).

Proses dimulai dengan sutau pernyataan apa yang akan dipelajari, menampilkan temuan tidak terbatas dan pertimbangan kemungkinan-kemungkinan, dan kesimpulan pola-pola pengertian yang didasarkan pada kejadian. Alasan-alasan, penyimpangan, dan prasangka baik para pengajar maupun para ahli membandingkan dan membentuk lembaga penilaian.

Masuk dengan pikiran terbuka:

  • Jelaskan tujuan Anda, apa yang Anda ingin pelajari
    Bereskan dan yakinkan subyek Anda dengan guru Anda atau ahli.

Topik dapat dengan frase yang sederhana:


"Peran Gender di dalam permainan video game”
"Sejarah Politik Perancis di antara Perang Besar pada paruh abad ke-20“
"Penanaman Pohon Mahogoni di Amerika Tengah”
"Peraturan Perpipaan Domestik di Daerah Pinggiran Kota”
"Kosa kata dan Struktur Kerangka Manusia”

  • Pikirkan apa yang Anda ketahui tentang subyek
    Apa yang Anda sudah ketahui akan membantu Anda di dalam studi ini?
    Apa prasangka Anda?
  • Sumber apa yang penting untuk Anda, dan penentuan garis waktu Anda?
  • Memperoleh informasi
    Menutup pikiran tidak akan membuka pilihan Anda dan
    peluang kesempatan.
  • Bertanyalah
    Apa prasangka para pengarang terhadap informasi?
  • Aturlah apa yang Anda kumpulkan ke dalam pola-pola pemahaman
    Carilah kaitannya
  • Ajukan pertanyaan (lagi)
  • Pikirkan bagaimana Anda akan mendemonstrasikan pelajaran Andaesuai
    sesuai dengan topik Anda. Ya! Bagaimana Anda mencipatakan ujian
    Tentang apa yang Anda pelajari?
    Dari yang sederhana ke yang lebih sulit (1-6) terapan:

1.

Daftar, label, identitas

Demonstrasi Pengetahuan

2.

Defininisikan, jelaskan,
ringkaskan dengan kata-kata
Anda sendiri

Pengertian/Pemahaman

3.

Pecahkan, terapkan ke situasi baru

Gunakan pelajaran Anda, dan terapkan

4.

Bandingkan dan tentangkan, perbedaan antara item

Analisis

5.

Ciptakan, gabungkan, invent

Sintesis

6.

Alihkan, rekomendasikan, nilai

Evaluasi dan jelaskan menga


Pikirkan di dalam aturan bagaimana membuat pelajaran Anda sebagai petualangan di dalam penjelajahan!

Ringkasan Berpikir Kritis:

  • Tentukan fakta-fakta di dalam situasi baru atau subyek tanpa prasangka
  • Tempatkan fakta-fakta dan informasi ini sedemikian rupa di dalam pola Sehingga Anda memahaminya
  • Menerima atau menolak sumber nila dan kesimpulan yang didasarkan pada pengalaman, penilaian, dan keyakinan Anda.

Contoh Kasus Berpikir Kritis

Contents

Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).

Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka panjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.

Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.

Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini.

Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia.

Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.

Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya.

(Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Chicago Illinois, 1982, h.121).

Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.

Nilai Balik Pendidikan

Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi.
(Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).

Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.

Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.

Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu:

learning to know,
learning to do,
leraning to be dan
learning live together

yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu:
membaca,
menulis,
mendengar,
menutur,
menghitung,
meneliti,
menghafal dan
menghayal.

Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Fungsi

Non Ekonomi

Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin
(Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).

Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.

Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.

Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.

Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.

Kesimpulan


Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.

Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.

Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini harus dibawa?

Bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik?

Marilah kita renungkan bersama.

"Friends are a very rare jewel, indeed, they make you smile and encourage you to succeed, they lend an ear, they share a word of praise, and they always want to open their heart to us."

To Be Continued!


Sumber:


1.http://banjarcyberschool.blogspot.com
2.Fisika Bumi Siliwangi Innovation, Research and Development Center
3.Speech from:
Prof. Eisuke Saito Ph.D. (The First International Seminary on Lesson Study, JICA, Japan International Cooperation Agency)
5.The Sundanese Cyber School Alliance

Ucapan Terima Kasih:
1. Dra. Roswati Mudjiarto M.Pd.

(Dosen Senior di Jurusan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia) Sebagian tulisan ini adalah atas motivasi beliau


2.Bpk. Taufik Hidayat M.Sc., Ph.D.
(Dosen FPMIPA UPI, Doktor Bioteknologi dari Tokyo University)


3. Yusuf Kurniawan S.Pd.*

( Seorang Pendidik di SMKN Raja Desa)


Disusun Ulang Oleh:
1.Agung Febrianto (Mahasiswa Ekonomi UNSOED)
2. Ade Akhyar N. (Mahasiswa Teknik Geology UNSOED)
3. Riki (Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Indonesia)
4. Kurniawan (Mahasiswa STIK Bina Putera Banjar)
5. Arip Nurahman (Mahasiswa Pendidikan Fisika FPMIPA UPI, Follower Open Course Ware At MIT-Harvard University. USA.)

Semoga Bermanfaat dan Terima Kasih