Kamis, 10 Oktober 2013

Diskriminasi Gender dalam Perspektif Feminisme IV

D. FEMINISME DI INDONESIA 

Dalam perkembangannya disetiap negara, feminisme tidak selalu bertahan dengan konsep-konsep aliran yang ada. Namun, perspektif feminis yang terbentuk umumnya menyesuaikan dengan pola pikir dan adat setempat. 

Di Indonesia sendiri gerakan Feminisme masih terbilang baru. Di Indonesia para feminism masih menjadi euphoria, belum ada rumusan khusus bagaimana pola pergerakan feminisme yang ada di Indonesia. Karena rumusan yang masih samar inilah, para perempuan yang mencoba untuk mandiri cenderung mengadopsi konsep feminisme barat secara mentah. 

Mereka mengembangkan karir, mencoba meraih puncak tertinggi dalam suatu struktur kekuasaan. Akhir-akhir ini perempuan Indonesia merasa patut berbangga, karena sudah banyak kaumnya yang menempati posisi penting bahkan posisi tertinggi baik itu di bidang pemerintahan, ekonomi, entertainment, juga militer, keamanan, dll. 

Namun adakalanya kita melupakan fakta bahwa rata-rata mayoritas perempuan tersebut memiliki kehidupan rumah tangga yang tidak sesukses kehidupan karirnya. Inilah yang disebut euphoria feminism, ketika feminism diartikan secara mentah dan kasar tanpa dimaknai tujuan sesungguhnya dan tanpa diadaptasikan dengan adat atau norma yang berlaku. 

Kecenderungan perempuan modern yang mengejar karir, membawa mereka melupakan peranan mereka dalam rumah tangga. Perempuan-perempuan ini lebih sibuk memikirkan bagaimana mencapai posisi yang sejajar dengan rekan laki-lakinya, bahkan mereka cenderung menginginkan posisi lebih diatas laki-laki. 

Mereka terlalu sibuk memikirkan strategi politik, keuntungan ekonomi dan manajemen perusahaan, daripada memikirkan siapa yang mengurusi kebutuhan suami dan anaknya dirumah. Sebuah pengadilan agama di Jakarta, menyebutkan mayoritas faktor perceraian yang diajukan oleh suami adalah karena adanya ketimpangan penghasilan, kelalaian istri dalam rumah tangga dan perselingkuhan. Ketimpangan penghasilan suami dan istri dimana penghasilan istri lebih besar daripada penghasilan suami, kecenderungan yang terjadi adalah ambisi istri yang merasa lebih mampu sehingga ia pantas mengatur suami.
Hal ini memberikan efek depresi dan tekanan psikologis kepada suami, sehingga muaranya adalah keputusan untuk bercerai. Banyaknya kasus perceraian karena faktor-faktor tersebut, membuktikan bahwa rata-rata perempuan yang berambisi mengejar karir cenderung mengorbankan kehidupan rumah tangganya. 

Di Indonesia sendiri, adat dan norma yang berlaku menempatkan perempuan sebagai kunci sukses kehidupan berumah tangga. Karena itulah meski dianggap sebagai diskriminasi gender, perempuan sejak kecil lebih dipersiapkan untuk kehidupan berumah tangga. Semua agama yang ada di Indinesia, juga mengatur peran perempuan sebagai pendukung suami dan pendidik anak. Kecenderungan feminisme di Indonesia yang mengutamakan karir dan mengesampingkan rumah tangga, bukan saja menyalahi norma adat, tapi juga menyalahi norma agama. Karena itu, perlu adanya perumusun dengan perspektif feminis tentang bagaimana seharusnya perempuan Indonesia menempatkan dirinya dalam memperoleh keadilan gender dan memberikan pengabdian terbaik bagi kehidupan rumah tangga. 

Feminsime di Indonesia harus dimaknai dan diadaptasi dengan norma-norma yang ada dimasyarakat. Boleh saja seorang perempuan memiliki posisi penting di suatu struktur kekuasaan. Namun, yang harus diperhatikan oleh perempuan Indonesia adalah ia harus sadar bahwa ia memiliki peranan yang jauh lebih penting sebagai seorang istri yang menjaga kehormatan keluarga dan mendukung suami, serta sebagai seorang ibu yang mendidik generasi terbaik untuk bangsa Indonesia. Fakta menyebutkan bahwa hingga detik ini diskriminasi gender masih tetap ada di sekitar kita. Diskriminasi yang terjadi tidak terlepas dari pola pemikiran dan keyakinan yang memang sudah berkembang sejak lama. Tidak mudah untuk merubah pola ini. 

Namun, usaha untuk menjernihkannya harus segera dimulai. Sebagai kaum intelek yang tengah tumbuh bersama modernisasi dan globalisasi, sepatutnya masyarakat Indonesia menyadari bagaimana menanggapi permasalahan diskriminasi gender ini dengan pikiran jernih. Karena Perempuan dan laki-laki memang beda, tapi bukan untuk dibeda-bedakan. Munculnya pergerakan perempuan menjadi suatu rumusan perubahan untuk mengurangi bias gender dan diskriminasi gender yang ada. 

Namun, perubahan tersebut tidak harus serta merta mengadopsi konsep feminisme yang berkembang di luar negeri. Bagaimanapun juga konsep feminisme di Indonesia, harus disesuaikan dengan adat dunia timur yang menjunjung tinggi kesetiaan dan peren seorang anak perempuan, seorang istri dan seorang Ibu. 
The End Posted by: Fazar Shiddieq Karimil Fathah

Selasa, 01 Oktober 2013

Akses Terbuka Universitas dan Pendidikan Tinggi untuk Masyarakat

Untuk Meningkatkan Kualitas Hidup dalam IPM, Kota Banjar perlu membuka peluang untuk setiap warganya untuk mendapatkan akses terhadap dunia pendidikan tinggi.
 
 
 
Salah satu cara untuk meningkatkan akses pendidikan tinggi bagi seluruh masyarakat adalah dengan cara membuka sumber-sumber belajar tingkat universitas kepada seluruh masyarakat. 
 
Sumber Belajar Teknik dari Massachusetts Institute of Technology

School of Engineering

Mechanical Engineering


 
 
Salam, Arip Nurahman
 
Semoga Bermanfaat dan Tetap Semangat