Perempuan dan laki-laki, pada hakikatnya diciptakan Tuhan untuk saling melengkapi.
Laki-laki sebagai makhluk dengan peran dominan, diberi tanggung jawab untuk melindungi perempuan. Sementara perempuan menjadi bagian penting yang mendukung kehidupan laki-laki. Namun, untuk mencapai kesadaran akan peran laki-laki dan perempuan tersebut, bukanlah pekerjaan yang mudah.
Fakta sejarah membuktikan adanya diskriminasi terhadap pentingnya peran perempuan dari masa ke masa. Kebiasaan dan stigma masa lampau yang berkembang di berbagai belahan bumi, menempatkan perempuan dalam posisi yang jauh lebih rendah dibanding laki-laki. Sejak lama, permasalahan yang umum diterima oleh seorang perempuan adalah perbedaan kesempatan yang diperoleh.
Laki-laki lebih dominan disegala bidang. Perempuan dimasa lalu juga merasakan bagaimana mereka dianggap lemah, tidak berguna, direndahkan bahkan cenderung dilecehkan. Hal tersebut masih terjadi sampai sekarang meski tidak se-ekstrim dahulu. Seiring berjalannya waktu, mulai muncul pemikiran-pemikiran mandiri perempuan.
Tokoh-tokoh perempuan maju untuk memperjuangkan pengakuan publik terhadap kemampuan perempuan. Hal ini kemudian lebih kita kenal dengan gerakan emansipasi. Emansipasi perempuan terus berkembang dan memunculkan suatu gerakan baru yang disebut Feminisme.
Feminisme pada hakikatnya memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki dan pengakuan terhadap pentingnya peran perempuan. Dengan adanya kesetaraan ini kemudian kaum feminism dapat mengklaim bahwa perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. Namun, permasalahan baru muncul ketika ketidakpuasan kaum feminisme memunculkan suatu gerakan radikal yang ingin menggantikan peranan laki-laki dengan perempuan. Atas dasar tersebutlah penulis mengangkat tema Diskriminasi Gender dari perspektif kaum feminism sebagai permasalahan sosial yang muncul dimasyarakat.
Gender merupakan konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia. Gender juga berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat tuhan. (Oakley:1972) Feminisme merupakan operasionalisasi upaya pembebasan diri kaum perempuan dari berbagai ketimpangan perlakuan terhadap perempuan dalam segala aspek kehidupan. (Nugroho: 2008) Gerakan kaum perempuan pada hakekatnya adalah gerakan transformasi, bukan gerakan untuk membalas dendam pada kaum laki-laki.
Dengan demikian dapat dikatakan gerakan transformasi perempuan adalah suatu proses gerakan untuk membuat hubungan antar manusia lebih baik dan baru. (Nugroho: 2008)
A. JENIS KELAMIN DAN GENDER Secara umum laki-laki dan perempuan di bedakan melalui jenis kelamin, yaitu faktor pembawaan biologisnya ketika ia dilahirkan. Jika seorang bayi yang baru dilahirkan memiliki penis, maka jenis kelaminnya disebut laki-laki.
Sementara apabila lahir dengan vagina, maka ia disebut perempuan. Gender kerap kali disamakan dengan jenis kelamin, padahal keduanya berbeda. Gender adalah sifat yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural. Merupakan realitas subyektif yang kebenarannya mungkin hanya diakui oleh sedikit orang.
Gender terbentuk dalam jangka waktu yang panjang dan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti orientasi berfikir dan lingkungan. Gender biasanya dilihat dari karakter yang dimiliki seseorang. Dengan kata lain, seseorang berjenis kelamin perempuan belum tentu bergender perempuan. Namun, konsep yang berkembang dimasyarakat, khususnya masyarakat Indonesia, meyakini bahwa seseorang harus bergender sama seperti jenis kelaminnya.
Keharusan karakter seseorang kemudian dikekang oleh suatu bentuk pembakuan definisi, sifat dan peran dalam relasi sosial. Pembakuan ini kemudian lebih dikenal sengan stereotipi. Yang dimaksud stereotipi misalnya, perempuan harus identik dengan sifat lemah-lembut boleh merengek, harus mematuhi perintah orangtua, suami, harus menjaga sopan santunnya, berperasaan, dll.
Sementara laki-laki tidak boleh menangis, tidak boleh merengek, harus kuat, harus rasional, dll. Seperti kata filsuf Perancis, Simone de Beauvoir, bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, tapi dibentuk sebagai perempuan. Karena stereotipi itulah kemudian gender seseorang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial, kultural, melalui ajaran keagamaan maupun melalui negara.
Lama kelamaan, gender dipahami sama seperti jenis kelamin, yaitu sebagai kodrat tuhan yang tidak bisa diubah. Selanjutnya penyimpangan atas keyakinan masyarakat tersebut dianggap sebagai hal yang tabu dan tidak pantas. Masyarakat kita tidak menerima adanya perempuan yang berperilaku seperti laki-laki, dan sebaliknya laki-laki yang memiliki sifat perempuan. Berbagai perlakuan tidak menyenangkan diterima oleh para pelaku ‘penyimpangan gender’ ini, mulai dari sindiran, cemoohan, pengucilan hingga kekerasan.
Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai sesuatu yang benar di masyarakat, tanpa memandang dari perspektif pelaku. Banyak penelitian terkait minoritas gender yang para pelakunya mengakui bagaimana sulitnya menjadi seperti apa yang masyarakat harapkan. Bahkan, terkadang mereka merasa lahir dan terjebak dalam tubuh yang salah.
To Be ContinuedLaki-laki sebagai makhluk dengan peran dominan, diberi tanggung jawab untuk melindungi perempuan. Sementara perempuan menjadi bagian penting yang mendukung kehidupan laki-laki. Namun, untuk mencapai kesadaran akan peran laki-laki dan perempuan tersebut, bukanlah pekerjaan yang mudah.
Fakta sejarah membuktikan adanya diskriminasi terhadap pentingnya peran perempuan dari masa ke masa. Kebiasaan dan stigma masa lampau yang berkembang di berbagai belahan bumi, menempatkan perempuan dalam posisi yang jauh lebih rendah dibanding laki-laki. Sejak lama, permasalahan yang umum diterima oleh seorang perempuan adalah perbedaan kesempatan yang diperoleh.
Laki-laki lebih dominan disegala bidang. Perempuan dimasa lalu juga merasakan bagaimana mereka dianggap lemah, tidak berguna, direndahkan bahkan cenderung dilecehkan. Hal tersebut masih terjadi sampai sekarang meski tidak se-ekstrim dahulu. Seiring berjalannya waktu, mulai muncul pemikiran-pemikiran mandiri perempuan.
Tokoh-tokoh perempuan maju untuk memperjuangkan pengakuan publik terhadap kemampuan perempuan. Hal ini kemudian lebih kita kenal dengan gerakan emansipasi. Emansipasi perempuan terus berkembang dan memunculkan suatu gerakan baru yang disebut Feminisme.
Feminisme pada hakikatnya memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki dan pengakuan terhadap pentingnya peran perempuan. Dengan adanya kesetaraan ini kemudian kaum feminism dapat mengklaim bahwa perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. Namun, permasalahan baru muncul ketika ketidakpuasan kaum feminisme memunculkan suatu gerakan radikal yang ingin menggantikan peranan laki-laki dengan perempuan. Atas dasar tersebutlah penulis mengangkat tema Diskriminasi Gender dari perspektif kaum feminism sebagai permasalahan sosial yang muncul dimasyarakat.
Gender merupakan konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia. Gender juga berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat tuhan. (Oakley:1972) Feminisme merupakan operasionalisasi upaya pembebasan diri kaum perempuan dari berbagai ketimpangan perlakuan terhadap perempuan dalam segala aspek kehidupan. (Nugroho: 2008) Gerakan kaum perempuan pada hakekatnya adalah gerakan transformasi, bukan gerakan untuk membalas dendam pada kaum laki-laki.
Dengan demikian dapat dikatakan gerakan transformasi perempuan adalah suatu proses gerakan untuk membuat hubungan antar manusia lebih baik dan baru. (Nugroho: 2008)
A. JENIS KELAMIN DAN GENDER Secara umum laki-laki dan perempuan di bedakan melalui jenis kelamin, yaitu faktor pembawaan biologisnya ketika ia dilahirkan. Jika seorang bayi yang baru dilahirkan memiliki penis, maka jenis kelaminnya disebut laki-laki.
Sementara apabila lahir dengan vagina, maka ia disebut perempuan. Gender kerap kali disamakan dengan jenis kelamin, padahal keduanya berbeda. Gender adalah sifat yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural. Merupakan realitas subyektif yang kebenarannya mungkin hanya diakui oleh sedikit orang.
Gender terbentuk dalam jangka waktu yang panjang dan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti orientasi berfikir dan lingkungan. Gender biasanya dilihat dari karakter yang dimiliki seseorang. Dengan kata lain, seseorang berjenis kelamin perempuan belum tentu bergender perempuan. Namun, konsep yang berkembang dimasyarakat, khususnya masyarakat Indonesia, meyakini bahwa seseorang harus bergender sama seperti jenis kelaminnya.
Keharusan karakter seseorang kemudian dikekang oleh suatu bentuk pembakuan definisi, sifat dan peran dalam relasi sosial. Pembakuan ini kemudian lebih dikenal sengan stereotipi. Yang dimaksud stereotipi misalnya, perempuan harus identik dengan sifat lemah-lembut boleh merengek, harus mematuhi perintah orangtua, suami, harus menjaga sopan santunnya, berperasaan, dll.
Sementara laki-laki tidak boleh menangis, tidak boleh merengek, harus kuat, harus rasional, dll. Seperti kata filsuf Perancis, Simone de Beauvoir, bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, tapi dibentuk sebagai perempuan. Karena stereotipi itulah kemudian gender seseorang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial, kultural, melalui ajaran keagamaan maupun melalui negara.
Lama kelamaan, gender dipahami sama seperti jenis kelamin, yaitu sebagai kodrat tuhan yang tidak bisa diubah. Selanjutnya penyimpangan atas keyakinan masyarakat tersebut dianggap sebagai hal yang tabu dan tidak pantas. Masyarakat kita tidak menerima adanya perempuan yang berperilaku seperti laki-laki, dan sebaliknya laki-laki yang memiliki sifat perempuan. Berbagai perlakuan tidak menyenangkan diterima oleh para pelaku ‘penyimpangan gender’ ini, mulai dari sindiran, cemoohan, pengucilan hingga kekerasan.
Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai sesuatu yang benar di masyarakat, tanpa memandang dari perspektif pelaku. Banyak penelitian terkait minoritas gender yang para pelakunya mengakui bagaimana sulitnya menjadi seperti apa yang masyarakat harapkan. Bahkan, terkadang mereka merasa lahir dan terjebak dalam tubuh yang salah.
Posted by: Fazar Shiddieq Karimil Fathah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar