Sebagai seorang peranakan China yang dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942, Soe Hok Gie, tentu tak menyangka dirinya akan menjadi bagian penting dari sejarah perjalanan demokrasi Bangsa Indonesia. Dibesarkan dalam nuansa peralihan dari penjajahan menuju pemerintahan demokratis, Gie tumbuh menjadi seorang remaja yang dipenuhi rasa ingin tahu, kritis, peka akan kondisi sosial dan pantang baginya untuk mengalah pada hal yang ia anggap salah.
Konsep kritis dan perlawanan yang ia lakukan, diilhami dari keyakinannya bahwa hanya dengan melawan maka kebenaran sejati akan terlihat. Bahwa para pejuang, Soekarno, Hatta, dan lainnya, melakukan perlawanan tanpa henti untuk mewujudkan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Putra pasangan Soe Lie Piet, yang merupakan seorang penulis, dan Ni Hoe An ini menyelesaikan pendidikan dasarny di Sin Hwa Scholl, sebuah sekolah khusus peranakan China.
Kemudian ia menyelesaikan pendidikan menengah pertamanya di SMP Strada, sebuah sekolah yang diasuh para Broeder Katholik dan melanjutkan ke SMA Kanisius.
Dalam catatan hariannya yang tertanggal 10 Desember 1959, di masa sekolah inilah kritik Soe Hok Gie mulai mengungkapkan pemikirannya terhadap politik dan keadaan negrinya. Hari itu ia menceritakan pengalamannya bertemu dengan seseorang, bukan pengemis tapi terpaksa mengais makanan ditempat sampah karena kelaparan.
Sementara dilingkungan istana, Gie menggambarkan kondisi ironis dengan menyinggung penguasa saat itu, Presiden Soekarno, yang beristri banyak. Detik inilah mulai terlihat perubahan pola pemikiran Gie. Gie yang dulunya mengagumi semangat juang Soekarno, perlahan mulai mengkritisi kebijakan-kebijakannya dalam pemerintahan. Bagi Gie, para pemimpin yang duduk di pemerintahan saat itu, adalah kumpulan generasi tua yang mengacau. Mereka adalah orang-orang yang mengkhianati apa yang diperjuangkan.
Lulus dari SMA, Gie melanjutkan kuliah di Fakultas Sastra Jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia. Selain konsisten di bidang akademis, ia lebih banyak mengisi kegiatannya dengan diskusi sastra dan seni, serta mendekatkan diri pada alam. Meski kepekaannya terhadap masalah politik telah muncul sejak di sekolah menengah, tak sedikit pun ia tertarik untuk masuk kedalam pusaran politik. Gie melihat kondisi kampusnya, UI, yang telah dirasuki kepentingan politis partai-partai nasional. Banyak mahasiswa yang menjadi kader-kader organisasi eksternal.
Organisasi ini merupakan peranakan partai nasional yang tentu saja menanamkan ideologi dan pandangan pergerakannya jauh ke dalam otak mahasiswa.
Kondisi politik Indonesia di era 60an itu, digambarkan dengan kedekatan Soekarno dan PKI. Keduanya seolah saling bahu-membahu demi mempertahankan kekuasaan. Pihak militer pun turut mengawasi kedekatan keduanya.
Dengan massa yang besar dan dukungan Soekarno, bukan tidak mungkin ideologi komunis yang dibawa PKI akan mengakar di Indonesia. Hal ini menjadi ancaman bagi partai-partai lain dengan ideologi yang bertentangan seperti liberalis, islam, dll. Karenanya muncul pergolakan yang tak kasat mata antar partai.
Kemelut politik yang dilakukan partai-partai tersebut, justru tampak lebih nyata dan radikal di kalangan pergerakan mahasiswa. Dengan kata lain, pergerakan mahasiswa menjadi alat bagi kepentingan politik nasional. Mahasiswa dengan ideologi sama bersatu mengumpulkan kader dan begitu mengutamakan kepentingan kelompok.
Masing-masing kelompok berkoar-koar akan melakukan perubahan untuk negeri yang lebih baik. Namun, fakta didalam kampus, justru terjadi pertentangan dan adegan saling menjatuhkan kelompok lain yang beda ideologi.
Gie sendiri berusaha untuk tidak terseret dalam arus politik intervensi di pergerakan kampus. Dalam sebuah catatannya ia menulis : “Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan.
Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun”.
Namun sebagai seorang intelegensia atau kaum cendekia, Gie memiliki prinsip bahwa mahasiswa adalah The happy selected few, orang-orang yang dipilih oleh keberuntungan sehingga dapat mengecap pendidikan tertinggi di tengah ketertinggalan sosial dan kepahitan ekonomi. Untuk itu mahasiswa memiliki tugas untuk memperbaiki keadaan. Mahasiswa menanggung beban dan tanggung jawab untuk menemukan konsepsi paling tepat demi membangun kemakmuran negara. Dalam salah satu tulisannya Gie mengatakan : “Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor.
Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah”. Jadi akan ada saatnya bagi Gie dan seluruh mahasiswa, untuk melakukan gebrakan menentang segala sesuatu yang salah kaprah. Gie memulai perannya. Ia bergabung dengan GMSos (Gerakan Mahasiswa Sosialis) dan menerbitkan tulisan-tulisan tanpa nama (underground campaign), berisi kritik terhadap pemerintah.
Selain itu, bersama sahabatnya, Herman Lantang, ia membentuk senat mahasiswa sastra yang bebas dari intervensi politik.
Paska Peristiwa Gerakan 30 September 1965, kondisi sosial politik hampir tak terkendali. PKI yang diduga sebagai dalang dari peristiwa berdarah yang mengorbankan para perwira tinggi militer itu, mendapat kecaman dari berbagai pihak. Militer dibawah pimpinan Soeharto mulai bergerak meringkus semua yang berhubungan dengan PKI. Bukan hanya D.N. Aidit dan pasukannya yang terlibat G 30 S, melainkan keseluruhan pengurus, ormas dan anggota PKI, bahkan yang diduga sebagai anggota dengan PKI.
Dilain pihak, pemerintah justru menaikkan harga barang pokok yang tentu saja menyusahkan rakyat. Tahun 1966, kelompok-kelompok mahasiswa akhirnya menggabungkan diri dalam satu wadah yang dinamakan Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI). Memutuskan untuk melakukan demonstrasi dengan tiga tuntutan (TRITURA). Gie juga ikut ambil bagian dalam pergerakan mahasiswa ini. Merurutnya, militer tidak mungkin bergerak karena posisinya terjepit, antara kepentingan pemerintah dan desakan rakyat.
Sementara jika rakyat yang bergerak, akan terjadi chaos. Karenanya, lebih baik mahasiswa yang bergerak. dalam catatannya ia menulis : “Kuputuskan akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan”.
Rangkaian aksi mahasiswa meliputi demonstrasi ke sekretariat negara pada tanggal 10 Januari 1966, dilanjutkan aksi di rawamangun pada 11 Januari. 12 Januari longmarch dari Kampus UI Salemba ke Gedung DPR-GR, menempuh jarak 15 km. 13 Januari Gie dan ribuan mahasiswa melakukan gerakan bersepeda.
Keseluruhan aksi ini dilakukan oleh hampir seluruh mahasiswa UI dengan menyebarkan pesan tritura dan kecaman terhadap pemerintah.
Respon Soekarno terhadap aksi ini mengecewakan. Soekarno terkesan tidak serius dalam menindak tegas PKI. Aksi-aksi terpisah terus berlangsung, kecaman terhadap soekarno pun mengalir deras karena KAMI juga didukung oleh militer yang kontra Soekarno.
Selama hampir satu tahun terjadi ketidakpastian di pemerintahan. Dualisme kepemimpinan muncul ketika Jendral Soeharto digadang-gadang sebagai pahlawan G 30 S dan Presiden Soekarno kehilangan kharismanya lantaran tidak dapat mempertanggungjawabkan peristiwa G 30 S serta tidak mau mengecam PKI. Akhirnya pada tanggal 20 Februari 1967, sesuai ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, Soekarno mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan presiden kepada Soeharto.
Lengsernya Soekarno merupakan keberhasilan bagi gerakan aksi mahasiswa tahun 1966, atau biasa disebut angkatan ’66. Kondisi perkuliahan di kampus UI kembali normal. Gie menjadi salah satu staf pengajar di almamaternya. Ia masih aktif menulis tentang banyak hal, bukan dengan sembunyi-sembunyi lagi, melainkan dengan terang mencantumkan namanya.
Namun, ketenangan tak berlangsung lama. Jauh dari harapan Gie akan sebuah pemerintahan yang adil dan bersih dari korupsi, disekitar awal tahun 1969 dugaan kasus tindak korupsi di pemerintahan terkuak dengan cepat. Akan tetapi kasus-kasus tersebut menghilang secepat kemunculannya. Pelanggaran pemerintahan orde baru seolah menjadi rahasia umum yang tak ingin disinggung karena basis pemerintahan ini adalah kekuatan militer. Meski begitu, ketakutan terhadap kekuatan orde baru nyatanya tak mampu menghambat getar-getar kritik politis yang mulai bangkit kembali.dalam pemikiran Gie.
Ia memulai perlawanannya sendiri dengan bersenjatakan otak, hati, pena dan mesin ketik. Tulisan-tulisannya mulai beredar mengkritik polah pemerintah orde baru.
Gie berusaha menguak apa yang terjadi dibalik penumpasan PKI. Melalui tulisannya ia berusaha menggiring opini publik untuk mencermati kekejaman praktek penumpasan PKI. Kritik Gie bukan hanya untuk pemerintah, tapi juga untuk banyak kalangan yang ia anggap salah. Melalui kritikannya yang pedas, Gie bukan hanya mendapatkan decak kagum, tapi juga makian dan ancaman pembunuhan. Seolah tak peduli, Gie tetap teguh pada prinsip-prinsipnya seperti pohon Oak yang tetap tegak melawan angin. Baginya, lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.
Perlawanan Gie, berakhir di penghujung 1969.
Dalam pendakian terakhirnya di Gunung Semeru, Gie meninggal karena menghirup gas beracun. Dikisahkan tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27, ia menghembuskan nafas terakhir di pangkuan sahabatnya, Herman Lantang.
Posted by: Fazar Shiddieq Karimil Fathah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar