Selasa, 01 Mei 2012

Wacana dan Realita Konstruksi Pendidikan Karakter dalam Kampus

Isu yang merebak sebagai hasil kesadaran cendikiawan kini menghembuskan wacana yang santer diperbincangkan khalayak umum “Pendidikan Karakter”. 

Ambruknya moral, akhlak maupun karakter dengan bukti nyata di depan mata yang setiap kita lihat, kita dengar, dan juga kita bicarakan, dengan jumlah yang tidak sedikit : uang rakyat yang ditimbun dan digunakan oleh wakil rakyat untuk kepentingan pribadi yang kemudian menempatkan nama Indonesia pada jajaran atas Negara korup di dunia.

Jika sebagai mahasiswa dengan jargon besar : Agent of Change, yang menyulap lingkungan kampus menjadi masyakarat sebenarnya saja tak memiliki apa yang dikatakan karakter, maka layaklah bangsa kita masih dipandang sebelah mata. Jika orang terdidik dengan sandangan “Mahasiswa” saja tidak lebih baik daripada yang tak mengeyam bangku kuliah.


Bangsa kita memiliki banyak manusia maupun insan cendikia, pandai, cerdas, dan grade yang tinggi untuk masalah intelektualitas, tapi nol besar dalam hal karakter.

Kejujuran, kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras dan berderet-deret kata perilaku mulia sudah jarang ditemui menempel pada mahasiswa, jarang tidak berarti tidak ada, namun jarang berarti sedikit, karena pada faktanya, agent of change kebanyakan ternyata lebih berakhlak seperti koruptor dengan mencontek saat ujian, mengerjakan tugas dengan copy paste, telat masuk kuliah, bahkan tidak menghormati dosen, juga berderet-deret kata tak terpuji lainnya.

Bahkan sifat dan sikap mahasiswa dibandingkan anak SMP atau SMA tidak ada bedanya. 

Karakter sebagai indentitas seseorang tentu menjadi penting karena bangsa kita telah lama memiliki kebiasaan-kebiasaan yang kurang kondusif untuk membangun bangsa yang unggul.

Bahkan Yan Sugiarto (2009:11-13) mengemukakan 55 kebiasaan kecil yang menghancurkan bangsa. Tampaklah sangat benar istilah “sedikit-sedikit menjadi bukit”. 

Bukan lagi kemakmuran dan kegemilangan yang kita bangun untuk bangsa, tapi kehancuran yang lebih cepat telah dirancang oleh manusia bernama mahasiswa.

Mahasiswa yang membangun rumah megah dengan pondasi yang rapuh. Anjloknya karakter bangsa yang terindikasi karena rendahnya pendidikan menjadi topik yang terus diperbincangkan. Mahasiswa yang kini memiliki karakter “baik” ternyata jumlahnya jauh lebih sedikit.

Di dalam kamus Psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran.

Jujur dan disiplin waktu, dua karakter yang kini langka ditemui ada pada mahasiswa. Dua karakter yang kini juga membawa Jepang sebagai Negara besar dan makmur. 

Perspektif bengkok berupa semboyan “Jujur Ajur” dengan aktualisasi instan berupa nilai baik tanpa belajar, kondisi yang lebih enak mendapatkan ikan daripada harus berlelah-lelah dengan kail, puas dengan nilai A tanpa penguasan ilmu dan materi yang baik, prinsip yang salah besar mengenai “kuliah untuk nilai dan ijazah” bukan “kuiah untuk ilmu” yang kemudian berkelanjutan dengan penghalalan segala cara untuk nilai A tersebut. Kondisi yang selalu melenakan ini kemudian dijadikan berbagai alasan untuk bersenang-senang ketepian, berakit-rakit kehulu. 

Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya pendidikan karakter adalah system pendidikan yang kurang menekankan pembentukan karatker, dan kondisi lingkungan yang kurang mendukung pembangunan karakter (Furqon Hidayatullah, 2010:17). Lagi-lagi kesalahan system pendidikan. Kesalahan orientas yang hanya mengutamakan penguasaan IPTEK daripada IMTAQ yang seharusnya seimbang telah menjadi ketimpangan yang kini menyebabkan bangsa kita terseok-seok. 

Banyak manusia pintar yang merugikan orang lain, masyarakat, dan Negara. Mahasiswa sebagai calon pemimpin, pemegang estafet kelangsungan bangsa yang mendalami ilmu di perguruan tinggi sebagai calon intelektual harusnya mempersiapkan diri, tak hanya dalam intelektualitasnya, namun juga hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan pribadi dan karakternya. 

Di sisi lain, mahasiswa hendaknya mampu bersikap terbuka, berpikir dan berperilaku demokratis, mengembangkan kreatifitaas, dan peka terhadap permasalahan di sekitarnya. Dengan bekal itulah peranan mahasiswa di masa depan menjadi penting dan strategis. Penting karena mahasiswa merupakan kelompok yang telah mendapatkan kesempatan dan prioritaas lebih daripada kelompok lain, strategis karena kesempatan itu merupakan arena dalam meningkatkan aktualitas diri. 

Tanggung jawab esensiil mahasiswa adalah sebgai pembangkit kekuatan individual sebagai dasar yang paling menentukan daripada kemampuan berpikir analitis dan sistesis. Dengan begini berarti bahwa mahasiswa pada hakekatnya bukanlah manusia rapat umum, tapi manusia menganalisis.

Sebagai penganalisis, mahasiswa bukan semata-mata pemburu ijazah, tetapi seharusnya merupakan penghasil gagasan yang disajikan dalam bentuk pemikiran yang teratur yang banyak sedikitnya sesuai dengan hakekat ilmu. 

Posted By: Fazar Shiddieq Karimil Fathah

2 komentar:

riadi budiman mengatakan...

sharing www.pendikarmuslim.untan.ac.id

Unknown mengatakan...

mahasiswa/mahasiswi sebenarnya tidak sesuai yang dipaparkan, seperti bangunan yang mewah mempunyai pondasi yang rapuh. hal seperti itu pasti ada tetapi "tidak semua mahasiswa/mahasiswi seperti itu". ibaratkan buah kelapa dalam satu rangkai tidak semuanya kopong semua, melainkan yang kopong dalam satu rangkai hanya satu dan dua. begitu dengan mahasiswa/mahasiswi