Muhammad Khairul Idaman
ditambah dan diedit ulang oleh:
Arip Nurahman
Indonesia University of Education
A school (from Greek σχολεῖον - scholeion) is an institution designed to allow and encourage students (or "pupils") to learn, under the supervision of teachers. Most countries have systems of formal education, which is commonly compulsory. In these systems, students progress through a series of schools. The names for these schools vary by country (discussed in the Regional section below), but generally include primary school for young children and secondary school for teenagers who have completed primary education.
In addition to these core schools, students in a given country may also have access to and attend schools both before and after primary and secondary education. Kindergarten or pre-school provide some schooling to very young children (typically ages 3-5). University, vocational school, college or seminary may be available after (or in lieu of) secondary school. A school may also be dedicated to one particular field, such as a school of economics or a school of dance. Alternative schools may provide nontraditional curriculum and methods.
Seorang ibu berkata pada anaknya" nak kalau sudah besar kamu harus jadi pegawai negeri sipil (PNS) biar hidupmu tidak susah, jangan meniru bapak dan ibumu yang tiap hari harus jualan sayur kepasar, biar bapak dan ibu saja yang bodoh dan susah cari uang liat tetangga kita itu sekolahannya tinggi coba lihat hidupnya enak kamu harus mencontoh dia" . Sementara dilain pihak seorang ibu berkata " buat apa sekolah tinggi-tinggi ? dokter sudah ada, menteri sudah ada, guru banyak, presiden sudah ada, mendingan uang sekolahmu dibelikan sapi biar beranak-pinak lebih jelas hasilnya dari pada harus dibayarkan untuk sekolah, coba lihat si lukman itu sekolah jauh-jauh tapi setelah selesai nganggur dan akhirnya sekarang jadi sopir anggutan.." !
Sadar atau tidak, ditingkatan masyarakat opini yang terbangun mengenai dunia pendidikan (sekolah) seperti yang diilustrasikan diatas. Masyarakat menilai bahwa salah satu alat keberhasilan seseorang bersekolah adalah sejauh mana dia mampu membawa dirinya pada status social yang tinggi dimasyarakat indikasinya adalah apakah seseorang itu bekerja dengan berpenampilan elegan (berdasi, pake sepatu mengkilap, dan membawa tas kantor) atau tidak, dan apakah seseorang tersebut bisa kaya dengan pekerjaannya? Kalau seseorang yang telah menempuh jenjang pendidikan (SLTA, D1, D2, D3, S1, S2, dan S3) lulus dan setelah itu menganggur maka dia telah gagal bersekolah. Hal semacam inilah yang sering ditemui di masyarakat kita.
Mencermati hal diatas, apakah memang praktek-praktek pendidikan yang selama ini dijalani ada kesalahan proses?, mengapa dunia pendidikan belum bisa memberikan pengaruh pencerahan ditingkatan masyarakat, lantas apa yang selama ini dilakukannya oleh dunia pendidikan kita? kalaupun yang diopinikan masyarakat itu adalah kesalahan berpikir, mengapa kualitas pendidikan di Indonesia tidak lebih baik dari negara lainnya, bukankah setiap hari upaya perbaikan pendidikan terus dilakukan mulai dari seminar sampai dengan pembuatan undang-undang system pendidikan nasional? Atau inilah yang dimaksud oleh Ivan Ilich bahwa "SEKOLAH itu lebih berbahaya daripada nuklir. Ia adalah candu! Bebaskan warga dari sekolah."
Jelasnya pendidikan (sekolah) bukanlah suatu proses untuk mempersiapkan manusia-manusia penghuni pabrik, berpenampilan elegan apalagi hanya sebatas regenerasi pegawai negeri sipil (PNS), tapi lebih dari itu adalah pendidikan merupakan upaya bagaimana memanusiakan manusia. Tentunya proses tersebut bukan hal yang sederhana butuh komitmen yang kuat dari setiap komponen pendidikan khusunya pemerintah bagaimana memposisikan pendidikan sebagai inventasi jangka panjang dengan produk manusia-manusia masa depan yang hadal, kritis dan bertanggung jawab. Kalau dunia pendidikan hanya diposisikan sebagai pelengkap dunia industri maka bisa jadi manusia-manusia Indonesia kedepan adalah manusia yang kapitalistik, coba perhatikan menjelang masa-masa penerimaan siswa/mahasiswa tahun ajaran baru dipinggir jalan sering kita temukan mulai dari spanduk, baliho, liflet, brosur, pamlet dan stiker yang bertuliskan slogan yang kapitalistik seperti " lulus dijamin langsung kerja, kalau tidak uang kembali 100%, adapula yang bertuliskan "sekolah hanya untuk bekerja, disini tempatnya" apalagi banyaknya sekolah-sekolah yang bergaya industri semakin memperparah citra dunia pendidikan yang cenderung lebih berorientasi pada pengakumulasian modal daripada pemenuhan kualitas pelayanan akademik yang diberikan. Akhirnya terlihat dengan jelas bagaimana mutu SDM Indonesia yang jauh dari harapan seperti dilaporkan oleh studi UNDP tahun 2000 yang menyatakan bahwa Human Development Indeks (HDI) Indonesia menempati urutan ke 109 dari 174 negara atau data tahun 2001 menempati urutan ke 102 dari 162 negara.
Jadi, tidak mengherankan kalau ditingkatan masyarakat memandang dunia pendidikan (sekolah) sampai hari ini seperti layaknya sebagai institusi penyalur pegawai negeri sipil (PNS) indikasi dari pandangangan tersebut bisa dilihat bagaimana animo masyarakat yang cukup tinggi ketika pembukaan pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS) seolah-olah status/gelar akademik yang mereka capai (D1,D2,D3,S1,S2, dan S3) hanya cocok untuk kerja-kerja kantoran (PNS) hal inipun merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingkat pengangguran kaum terdidik setiap tahunnya bertambah sebab kesalahan motiv sekolah sebagai akibat dari prilaku sekolah yang kapitalistik akhirnya banyak melahirkan kaum terdidik yang bermentalitas "Gengsi gede-gedean"
Beberapa hal diatas setidaknya menjadi renungan bagi dunia pendidikan kita bahwa pendidikan bukanlah sesederhana dengan hanya mengupulkan orang lantas diceramahi setelah itu pulang kerumah mengerjakan tugas besoknya kesekolah lagi sampai kelulusan dicapainya (sekolah berbasis jalan tol), kalau aktivitas sekolah hanya monoton semacam ini maka pilihan untuk bersekolah merupakan pilihan yang sangat merugikan akan tetapi kalau proses yang dijalankannya tidak seperti sekolah jalan tol maka pilihan untuk beinvestasi di dunia pendidikan dengan jalan menyekolahkan anak-anak kita merupakan pilihan yang sangat cerdas. Oleh sebab itu sudah saatnya dunia pendidikan kita mereformasi diri secara serius khusunya bagaimana pembelajaran di sekolah itu bisa dijalankan melalui prinsip penyadaran kritis sehingga melalui kekuatan kesadaran kritis bisa menganalisis, mengaitkan bahkan menyimpulkan bahwa persoalan kemiskinan, pengangguran, dan lainnya merupakan persoalan system bukan karena persoalan jenjang sekolah. Inilah yang seharusnya menjadi muatan penting untuk diinternalisasikan disetiap diri siswa.
Selain itu, mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa sekolah itu tidak sekedar tahapan untuk bekerja kantoran menjadi salah satu agenda dunia pendidikan yang harus segera dilakukan sehingga masyarakatpun bisa memahami secara holistik untuk apa pendidikan itu dilahirkan. Agenda semacam ini akan bisa dijalankan secara baik kalau masing-masing insitusi pendidikan bertindak secara fair bagaimana proses penerimaan siswa baru tidak lagi memakai slogan yang menyesatkan. Mempertahankan sekolah yang kapitalistik sama saja menggerogoti minat dan motivasi masyarakat untuk turut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Oleh:Tabrani Yunis
(Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh)
Tidak satupun di antara kita, para pembaca yang mengatakan bahwa sekolah itu tidak penting. Pasti, kita sependapat bahwa sekolah itu penting. Karena sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dipercaya sebagai lembaga yang menyiapkan masa depan kita dan anak cucu kita untuk meraih masa depan yang gemilang. Karena sekolah itu penting dan perlu bagi masa depan anak-anak, maka kalau ada anak – anak yang putus sekolah, ya bisa berabe. Anak-anak akan kehilangan masa depan.. Kalau tidak sekolah, maka masa depan pun suram. Kalau tidak sekolah, maka anak-anak kita akan menjadi gelandangan (walau sekarang sarjana saja menganggur). Barangkali, para pembaca masih ingat ketika Mandra mempromosikan sekolah dalam pariwara “AYO SEKOLAH” yang disponsori oleh UNICEF beberapa tahun lalu. Ungkapan Mandra itu masih segar terngiang. Katanya begini, “ Jangan sampai putus sekolah……….kalau putus sekolah bisa berabe. Begitulah pentingnya posisi sekolah bagi anak-anak kita. Oleh sebab itu, wajar kalau masyarakat kita sangat menggantungkan harapan masa depan anak terhadap sekolah. Seakan sekolah adalah dewa penyelamat bagi sebuah kehidupan yang lebih baik bagi masa depan anak-anak kita. Mungkin bukanlah hal yang keliru kalau Roem Topatimasang pada tahun 1998 menyebutkan “Sekolah itu Candu”. Roem mengkritik eksistensi sekolah yang telah menjadi tumpuan harapan kita itu. Kalau sekolah menjadi candu, kita bisa bayangkan bagaimana kala kita kecanduan. Ini yang namanya berabe bukan?
Ya, mungkin berabe. Tetapi semakin berabe, tatkala sekolah yang selama ini kita harapkan mampu membangun masa depan yang cerah dan gemilang bagi anak cucu kita, dalam realitasnya sangat jauh berbeda. Agaknya, kita terlalu menggantungkan harapan besar terhadap sekolah. Padahal sekolah kita saat ini sangatlah tidak berdaya. Sekolah kita sangat terseok-seok. Sekolah kita sedang sakit, bahkan berada pada kondisi yang sekarat. Karena sekolah dihimpit oleh berbagai persoalan yang mendasar, mulai dari persoalan kualitas dan kuantitas guru, peralatan, kurikulum serta manajemen sekolah yang amburadul, yang bermuara pada rendahnya kualitas intelektual anak-anak kita. Nah, kalau begini kondisi sekolah kita, bagaimana sekolah mampu membangun masa depan anak cucu kita yang gemilang? Sangat tidak mungkin bukan ?
Ironisnya, ketika kondisi sekolah kita kini banyak yang impotent, berkualitas rendah untuk melahirkan lulusan-lulusan yang ideal, kebanyakan kepala sekolah, terutama sekolah-sekolah yang sudah terlanjur dilabelkan dengan status favorit atau sejenisnya, sering kelihatan pongah dan bangga,karena capaian angka UAN tinggi. Para pejabat pendidikan di dinas pendidikan dan Depdiknas banyak pun ikut syur (birahinya naik) dengan hasil (baca angka) yang dicapai oleh anak-anak usai Ujian Nasional (UN) digelar. Seakan-akan semua angka tinggi yang diraih anak didik adalah hasil dari kerja keras sekolah. Padahal, capaian itu tidak semata-mata diraih oleh keberhasilan sekolah. Kepala sekolah dan pejabat dinas pendidikan selayaknya tidak mengklaim kalau hasil (angka yang belum tentu diperoleh dengan jujur itu) adalah sebuah keberhasilan sekolah. Karena dalam realitas kontemporer, sekolah saja kini tidak cukup. Karena kebanyakan sekolah di daerah kita maupun di Indonesia kini telah gagal memanusiakan peserta didik. Jangankan untuk memanusiakan peserta didik, untuk memperoleh nilai UN saja banyak sekolah yang tidak mampu.
Bimbel Masuk Sekolah
Kepala sekolah, guru, pejabat atau birokrat pendidikan akan kebakaran jenggot atau marah, apabila dikatakan bahwa sekolah telah gagal untuk menyiapkan masa depan anak didik yang gemilang. Mereka pasti akan membantah. Tentu saja tidak jadi masalah. Kita bisa menggunakan banyak alat ukur untuk membuktikan kegagalan tersebut. Salah satu indicator kegagalan sekolah menyiapkan peserta didik menjadi manusia yang cerdas dan berkualitas bisa diukur dengan muncul lembaga-lembaga pendidikan non formal di dalam masyarakat. Ketika sekolah gagal mengajarkan bahasa Inggris di sekolah, orang tua terpaksa mengeluarkan dana ekstra untuk mengantarkan anak-anak mereka ke kursur bahasa Inggris. Ketika sekolah gagal membuat peserta didik bisa terampil dengan matematika, fisika dan biologi, maka orang tua harus mengantarkan anak-anak mereka ke kursus matematika, fisika, kimia dan biologi. Ketika sekolah gagal mengajarkan pelajaran akuntansi dan lainhya, maka orang tua, sekali lagi harus mengantarkan anak-anak mereka ke kursus-kursus. Kegagalan sekolah ini kemudian dimanfaatkan oleh lembaga pendidikan non formal. Walaupun kursus mahal dan waktu belajar lebih pendek dibandingkan dengan waktu di sekolah, lembaga –lembaga ini dari waktu ke waktu terus tumbuh menjamur. Biaya mahal tidak begitu dipersoalkan, asal nilai anak setelah ujian nasional tetap tinggi. Yang penting nilai tiga mata pelajaran yang diuji dengan standard nilai yang sudah ditetapkan bisa tercapai.
Nah ketika pemerintah terus menaikkan standard kelulusan ujian nasional (UN), sekolah-sekolah menjadi kalangkabut. Sekolah-sekolah semakin kehilangan rasa percaya diri. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kulaitas sekolah dan juga semakin rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap sekolah. Ujian nasional di satu sisi dapat dijadikan sebagai pemantik peningkatan kualitas sekolah (peserta didik). Namun di sisi lain, ujian nasional (UN) menjadi sesuatu yang menakutkan. Ujian nasional menjadi tujuan, bukan sesuatu yang dijadikan sebagai alat evaluasi saja. Banyak sekolah yang tidak mampu menyiapkan anak didik untuk bisa mencapai angka atau standar kelulusan yang ditetapkan oleh pemerintah. Akibatnya, peserta didik, orang tua, bahkan guru di sekolah berpaling untuk mengirimkan anak-anak (peserta didik) ke lembaga Bimbingan Belajar.
Kehadiran lembaga bimbingan belajar yang kini menjamur di seluruh Indonesia, bukan lagi sebagai sebuah alternatif bagi anak-anak, tetapi sudah menjadi sekolah kedua dan bahkan utama. Karena lembaga bimbingan belajar dipandang mampu menjawab persoalan peserta didik dalam menghadapi ujian nasional. Celaka bukan ? Inilah realitas dunia pendidikan formal kita saat ini, yang harus segera menjadi perhatian setiap orang, tertama mereka para pejabat yang memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Kehadiran banyak lembaga bimbingan belajar (Bimbel) di dalam masyarakat kita akhir-akhir ini, pada dasarnya dapat menjadi sebuah alternatif bagi peserta didik yang menghadapi kesulitan belajar di sekolah. Namun, sangat disayangkan bahwa lembaga bimbingan belajar tersebut bukan saja membuka praktek di luar sekolah. Akan tetapi sejak beberapa tahun yang lalu, banyak sekolah yang mengundang dan menggunakan jasa lembaga bimbingan belajar untuk mendongkrak kualitas lulusan sekolah. Untuk kota Banda Aceh, hal ini banyak dilakukan oleh sekolah-sekolah yang sudah terlanjur difavoritkan yakni SMA-SMA yang dijuluki sebagai sekolah favorit. Caranya adalah dengan membuka program belajar pada sore hari di sekolah. Fenomena ini, terjadi di banyak kota, terutama kota besar. Majalah Tempo edisi 26 Maret-1 April 2007 di halam 76 menuliskan “ banyak sekolah menggandeng lembaga bimbingan belajar untuk membantu siswa menghadapi ujian nasional. Hasilnya tak selalu meyakinkan. Lembaga ini semakin beken di kalangan siswa dan guru sekolah. Dulu lembaga semacam ini hanya digunakan siswa SMA untuk membantu persiapan ujian masuk perguruan tinggi negeri.Kini, bimbingan belajar juga menjadi semacam obat penangkal kecemasan menghadapi ujian nasional. Tak cuma siswa SMA tetapi juga siswa SMP. Begitu popularnya lembaga bimbingan belajar saat ini.
Nah, ketika sekolah semakin loyo dan tidak mampu menyiapkan peserta didik menghadapi ujian nasional yang setiap tahun semakin meningkat standardnya. Saat sekolah sudah tidak berdaya menyiapkan peserta didik menjadi manusia Indonesia yang cerdas. Kini telah hadir bimbingan belajar yang menjawab persoalan dan kebutuhan peserta didik dan keinginan orang tua yang mengejar angka. Kehadiran lembaga ini kian menjamur dan bahkan langsung mengintervensi sekolah. Bertumbuh kembangnya lembaga bimbingan belajar di satu sisi memang sangat baik,karena bisa dijadikan sebagai alternatif bagi para peserta didik. Namun, kala bimbingan belajar kini menjadi “pelipur lara”bagi peserta didik dan orang tua, maka pertanyaan kita, apakah kita masih membutuhkan sekolah ?
Selayaknya, para praktisi pendidikan di sekolah seperti guru dan kepala sekolah, para birokrat pendidikan yang bersinggsana di Dinas pendidikan kota dan provinsi, secepatnya melakukan introspeksi. Secepatnya memperbaiki citra sekolah dengan meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini perlu, agar masyarakat tidak dibebani oleh kegagalan sekolah dalam menyiapkan peserta didik. Secepatnya para ahli pendidikan yang ada di Dinas Pendidikan kota dan Dinas Propinsi turun tangan menangani pendidikan secara sungguh-sungguh dan selalu committed terhadap pencapaian visi pendidikan yang sudah disusun dalam strategic planning yang sudah disusun oleh Dinas pendidikan. Apabila hal ini tidak diperbaiki, sebaiknya sekolah kita tutup. Kita pun merasa kasihan terhadap peserta didik dan orang tua yang tidak mampu mengantarkan anak ke lembaga bimbingan belajar karena tidak mampu membayar biaya bimbingan belajar yang cukup besar. Kondisi ini akan berbahaya bagi dunia pendidikan kita. Semoga saja, para birokrat pendidikan kita mau membuka mata.
Semoga Bermanfaat dan Terima Kasih.
Sumber: dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar