Mengkritisi RUU Sisdiknas
Disusun dan diedit ulang
oleh:
Arip Nurahman
Pendidikan Fisika, FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia,
&
Follower Open Course Ware at MIT-Harvard University, U.S.A.
Tanpa banyak terliput oleh media massa dan agak luput dari perhatian kalangan pendidikan, Komisi VI DPR RI saat ini tengah membahas RUU Sistem Pendidikan Nasional. RUU ini naskah awalnya digarap oleh Komite Reformasi Pendidikan Badan Pengembangan dan Penelitian Departemen Pendidikan Nasional (KRP Balitbang Depdiknas).
Dengan pemikiran UU Sisdiknas mempunyai arti sangat penting dalam memberi landasan yang kukuh bagi pembangunan pendidikan nasional di samping fungsinya sebagai pemberi kepastian hukum dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan, senyampang RUU tersebut masih dalam proses pembahasan, penulis mencoba untuk mengangkat beberapa hal penting sebagai masukan bagi DPR.
Pendidikan Dasar
Sejak dahulu dan kemudian berlanjut sampai sekarang secara sadar kita semua mengalami kekacauan dalam tata nama jenjang pendidikan pada jalur pendidikan sekolah. Sebelum UU No. 2/1989 dan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun diberlakukan, Pemerintah menamai jenjang pendidikan terendah sebagai Sekolah Dasar (SD), kemudian jenjang berikutnya Sekolah Menengah Pertama (SMP), lalu Sekolah Menengah Atas (SMA) dan nama-nama khusus bagi sekolah menengah kejuruan. Dalam perkembangannya, setelah UU No. 2/1989 dan Wajar Dikdas diberlakukan, nama SMP diubah menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), SMA menjadi Sekolah Menengah Umum (SMU), dan sekolah-sekolah kejuruan cukup dengan nama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Walaupun dasar penggantian nama SMP menjadi SLTP adalah karena SMP merupakan bagian dari pendidikan dasar, nama baru ini tetap mencerminkan kekacauan berpikir karena nama SLTP mengesankan adanya jenjang di atasnya yang bernama SLTK (Sekolah Lanjutan Tingkat Kedua) dan seterusnya. Mestinya nama yang tepat adalah Sekolah Dasar Lanjutan (SDL) yang menunjukkan dengan jelas kedudukan jenjang pendidikan tersebut dalam sistem pendidikan nasional kita.
Anehnya, dalam naskah RUU yang dibahas pada 5 Desember 2001 Komisi VI menyebut ‘Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau yang sederajat yang terdiri atas enam tingkat’ (pasal 17 ayat 2), kemudian ‘Pendidikan menengah tingkat pertama berbentuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau yang sederajat’ dan ‘Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdiri atas tiga tingkat’ (Pasal 19 ayat 2 dan 3). Berikutnya, dalam pasal 20 ayat 3 disebutkan bahwa ‘Pendidikan menengah umum berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA)’, dan pada ayat 4 ‘Pendidikan menengah vokasional berbentuk Sekolah Menengah Vokasional (SMV)’.
Di samping sistem tata nama yang kacau, terdapat kekacauan dan kemunduran berpikir yang sangat mendasar para wakil rakyat di Komisi VI yaitu dengan mengembalikan jenjang pendidikan sekolah setelah SD ke dalam jenjang pendidikan menengah yang disebut sebagai pendidikan menengah tingkat pertama. Apalagi dalam pasal 19 ayat 1 disebutkan bahwa ‘Pendidikan menengah tingkat pertama bertujuan untuk mengembangkan kepribadian, sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk memasuki dunia kerja atau untuk mengikuti pendidikan lebih lanjut’ (kursif dari penulis). Pasal ini jelas-jelas memberikan legalitas formal dan pengakuan kepada dunia bahwa Indonesia mengizinkan dunia usaha mempekerjakan anak-anak berusia muda sebagai buruh karena usia lulusan jenjang pendidikan setelah SD tersebut adalah sekitar 15 tahun. Sungguh tidak masuk akal, keberanian politik Pemerintah di masa lalu yang untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia menetapkan jenjang pendidikan dasar berlangsung sembilan tahun dimentahkan oleh para wakil rakyat di era reformasi. Kenyataan cukup banyak anak-anak berusia muda menjadi buruh atau mencari nafkah bagi keluarganya tentunya tidak harus membuat negara mencabut komitmennya dalam mencerdaskan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia melalui pendidikan.
Dalam hal penjenjangan dan penetapan tujuan pendidikan, UU No. 2/1989 justru lebih progresif karena dengan jelas menyebutkan jenjang pendidikan dasar berlangsung selama sembilan tahun dan jelas-jelas tidak memasukkan kesiapan memasuki dunia kerja sebagai salah satu tujuan pendidikannya. Naskah terakhir KRP Balitbang Depdiknas pun (27 Juni 2001) memasukkan jenjang pendidikan dasar selama sembilan tahun dengan menyebut pendidikan dasar terdiri atas sekolah dasar dan sekolah dasar lanjutan.
Pendidikan Keagamaan
Dalam naskah RUU, baik naskah dari KRP Balitbang Depdiknas maupun naskah pembahasan Komisi VI, muncul sesuatu yang baru yaitu masuknya secara eksplisit madrasah dan pesantren. Di samping menempel dalam pasal-pasal tentang jenjang pendidikan yang salah satunya menyebut pendidikan keagamaan, dalam naskah KRP Balitbang Depdiknas ketentuan tentang madrasah dan pesantren tercantum dalam satu pasal khusus yang berisi empat ayat (pasal 17 ayat 1 s.d. 4). Dalam naskah pembahasan Komisi VI ketentuan tersebut muncul dalam salah satu pasal di bawah judul Pendidikan keagamaan yaitu pasal 26 yang secara eksplisit menyebut jenis pendidikan keagamaan Islam. Di samping itu, Komisi VI memasukkan secara eksplisit nama madrasah sesuai dengan jenjangnya dalam pasal-pasal yang menyebutkan nama suatu jenjang pendidikan (pasal 17, 18, 19, dan 20).
Menurut hemat penulis, dengan pemikiran bahwa UU ini berlaku untuk semua warga negara tanpa membedakan agama, tentunya akan lebih bijaksana untuk tidak mencantumkan secara eksplisit ketentuan-ketentuan yang sangat spesifik menunjuk agama tertentu. Atau bila hal tersebut memang sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap jenis dan jenjang pendidikan yang berciri khas agama tertentu, akan lebih baik jika jenis dan jenjang sekolah yang sangat khas yang diselenggarakan oleh pemeluk masing-masing agama dapat dicantumkan semua. Pasal 25 naskah pembahasan Komisi VI sebenarnya sudah cukup mengakomodasikan hal tersebut sehingga pencantuman nama jenjang sekolah yang sangat spesifik menunjuk kepada jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemeluk agama tertentu menjadi tidak perlu.
Peguruan Swasta
Satu hal yang cukup mengecewakan dalam RUU pembahasan Komisi VI adalah pengakuan terhadap perguruan swasta. Seperti halnya UU No. 2/1989 yang menempatkan eksistensi perguruan swasta dalam pasal buncit, naskah pembahasan Komisi VI pun sama saja (pasal 47 dari 59 pasal dalam UU No. 2/1989 dan pasal 49 dan 59 dari 67 pasal dalam naskah Komisi VI) dan keduanya pun tidak secara eksplisit menyebut ‘perguruan swasta’. Tentang bantuan pembiayaan bagi perguruan swasta pun keduanya menggunakan bahasa yang mengambang. UU No. 2/1989 menyebut ‘Pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku’ dan naskah pembahasan Komisi VI menyebut ‘Biaya penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku’ (kursif dari penulis).
Tampaknya, pemahaman akan hak peserta didik sebagai warga negara yang bersekolah di lembaga pendidikan swasta tetap belum berubah dari tahun ke tahun. Harus dipahami bahwa jumlah sekolah dan siswa lembaga pendidikan swasta, terutama di jenjang pendidikan dasar dan menengah cukup besar untuk dapat diabaikan begitu saja.
Anggaran Pendidikan
Satu hal yang menarik dalam naskah pembahasan Komisi VI adalah dicantumkannya secara eksplisit pengalokasian dana Pemerintah yaitu 20% dari APBN, 20% dari APBD Provinsi, dan 20% dari APBD Kota/Kabupaten, semuanya di luar alokasi dana bagi gaji guru (naskah KRP Balitbang Depdiknas menyebut angka 6% PDB dan masing-masing 20% APBD Provinsi dan Kota/Kabupaten). Suatu kemajuan yang cukup berarti karena apabila RUU ini berhasil diundangkan tanpa revisi dalam hal pendanaan, pembangunan pendidikan akan kian membaik.
Di samping hal-hal yang penulis kemukakan di atas, masih banyak hal yang perlu pembahasan dan masukan dari berbagai pihak agar RUU ini dapat memenuhi keinginan kita semua dalam membangun sebuah sistem pendidikan nasional yang kuat. Untuk itu, Komisi VI seyogyanya rajin mencari masukan dari masyarakat dan berbagai kalangan yang memiliki perhatian kepada perkembangan dunia pendidikan melalui semacam public hearing dan sebagainya.
PEMIKIRAN SEKITAR RUU SISDIKNAS
Hujair AH. Sanaky
1. Pendahuluan
Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, estetis, dan demokratis, serta memiliki rasa kemasyarakat dan kebangsaan. Kemudian pada bab III, prinsip pendidikan pasal 5 ayat [1] isinya, pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif, berdasarkan hak-hak asasi manusia dan nilai-nilai keagamaan, cultural, dan pluralitas bangsa.
RUU Sisdiknas yang rencananya akan dicanangkan pengesahannya pada 2 Mei 2003 bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, mendapat tanggapan yang beragam. Sumber polemiknya, pasal 12 ayat (1) yang isinya "setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan merupakan subyek dalam proses pendidikan yang berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama.". Hal ini, tentu menuntut kewajiban seluruh lembaga pendidikan mengajarkan pendidikan agama sesuai agama peserta didik memang sangat krusial dalam negara multiagama seperti Indonesia. Pada dasarnya, setiap orang berhak menjalankan agamanya dan diberi kesempatan memenuhi kebutuhan yang diperlukan dalam beragama, termasuk mendapatkan pendidikan agama.
Sebagian masyarakat [masyarakat Nasrani] menolak RUU di atas, hal ini didasarkan pada pandangan bahwa “pembinaan ketaqwaan dan keimanan bukan tugas utama sekolah, melainkan tugas orang tua dan masyarakat. Tugas utama sekolah adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, RUU ini dinilai kurang mengakomodasi dan menghargai pluralisme dan kelompok ini menyatakan bahwa campur tangan pemerintah dalam mengatur pendidikan agama berlawanan dengan konsep desentralisasi pendidikan yang sedang diupayakan. Padahal mestinya negara tidak mempunyai kewenangan mengatur agama, karena negara hanya menjadi fasilitator agar hubungan antar agama dapat terlaksana demi kesejahteraan umum.
Kelompok ini [Nasrani] yang menentang RUU Sisdiknas pasal 12 ayat [1] tersebut dirasakan sebagai tirani mayoritas pemeluk agama di Indonesia ketimbang perlindungan hak-hak peserta didik. Sebaliknya, kehawatiran banyak pihak Islam menyangkut masa depan peserta didik beragama Islam yang sekolah di lembaga pendidikan agama lain, sebab isu pendangkalan iman dan kristenisasi tidak dapat diabaikan begitu saja. Maka, lembaga-lembaga pendidikan agama lain yang memiliki banyak siswa beragama Islam, harus bersifat terbuka dan legowo dalam menerima dan melaksanakan RUU Sisdiknas pasal 12 ayat [1] tersebut. Karena akan kedengaran lucu seorang Nasrani atau Budha belajar di pesantren, begitu juga sebaliknya seorang muslim belajar di seminari.
Sementara, kelompok masyarakat [Islam] yang menginginkan agar RUU Sisdiknas dapat disahkan menjadi UU, berpendapat bahwa pendidikan agama dalam Sisdiknas masih diperlukan dengan melihat kenyataan meskipun sudah ada pendidikan agama, moral masyarakat banyak yang melenceng dari jalur agama. Apalagi jika pendidikan agama dihapuskan, maka dikhawatirkan masyarakat akan lebih jauh dari agamanya menjadi suatu kenyataan dalam kehidupan di Indonesia. Maka, kelompok ini berpendapat, bahwa pendidikan agama harus diajarkan oleh pendidik yang seagama karena agama tidak hanya bersifat kognitif tapi juga psikomotorik dan afektif.
2. Pembahasan Pasal
Apabila mencermati RUU pasal 12 ayat [1] Sisdiknas tersebut secara obyektif sebenarnya tidak ada yang perlu dipolemikkan. Pertanyaan mengapa polemik itu muncul, polemik ini muncul dari rasa kekhawatiran dan kecurigaan yang berlebihan dan seolah-olah RUU tersebut bertujuan untuk menyudutkan salah satu kelompok dan menguntungkan kelompok tertentu. Maka rasa kecurigaan inilah yang mestinya harus dihilangkan pada era demokratis, keterbukaan, dan pluralitas bangsa.
Kemudian, pendapat yang menyatakan bahwa RUU tersebut kontradiksi dengan tujuan bangsa Indonesia yang termuat di dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan bangsa, sebenarnya telah mereduksi makna pendidikan itu sendiri sekaligus menunjukkan pemikiran yang parsial dan paradok. Sebab, pendidikan tidak sekadar bertujuan mencerdaskan bangsa, tetapi membentuk manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah dengan mengharuskan pendidikan agama di sekolah berarti menghilangkan makna mencerdaskan, berilmu, kreatif, demokratis dan rasa kemasyarakatan dan kebangsaan. Tentu jawabannya tidak, maka seharusnya kita tidak memparadokkan antara tujuan mencerdaskan bangsa dengan tujuan meningkatkan ketakwaan dan keimanan [pendidikan agama]. Untuk itu, seharusnya ranah-ranah tersebut harus dapat berjalan dan dikembangkan secara seimbang dan berbarengan.
Sebenarnya, dalam kehidupan bernegara di Indonesia, agama tidak dapat dipisahkan dari negara meskipun kitapun tidak menjustifikasi adanya negara agama. Kenapa, karena Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, pada sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi justifikasi keharusan untuk menyelenggarakan pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan. Maka, keharusan menyelenggarakan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik juga tidak berarti menafikan pluralitas apalagi mengandung unsur SARA, karena kata agama yang tercantum di dalam RUU itu sama sekali tidak merujuk pada agama tertentu atau bersifat diskriminatif terhadap agama tertentu, tetapi bahkan dalam RUU tersebut mengimplikasikan bahwa tidak adanya keharusan menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik yang tidak beragama, apalagi berlainan agama.
Oleh sebab itu, kekhawatiran lembaga pendidikan tertentu terhadap RUU tersebu, bukan merupakan pandangan yang obyektif, tetapi sebagai pandangan yang subjektivitas serta berasal dari perasaan dan pandangan tirani mayoritas pemeluk suatu agama yang berlebihan dan tidak rasional. Tetapi, disatu sisi memang tidak dapat dipungkiri, jika RUU tersebut disahkan, akan sedikit banyak menambah beban pada lembaga pendidikan agama tertentu yang peserta didiknya beragama lain. Konsekuensi dari beban tersebut, merupakan salah satu risiko yang harus dijalani oleh lembaga pendidikan tersebut untuk mengembangkan potensi peserta didik yang lebih beriman dan bertaqwa, bermoral dan berakhlak mulia. Sebaliknya, beban tersebut tidak akan dialami oleh lembaga pendidikan yang peserta didiknya seagama dengan lembaga pendidikan tersebut.
3. Rekomendasi
1. Mengingat Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa bukan negara sekuler dan mengingat pendidikan bukan sekadar mentransfer ilmu melainkan juga mentransfer dan menanamkan nilai-nilai, maka pendidikan agama perlu diatur dalam undang-undang dan penyelenggaraannya menjadi keharusan.
2. Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
3. Setiap lembaga pendidikan di bawa naungan agama tertentu tidak boleh membuat aturan yang mewajibkan peserta didik yang berbeda agama ikut serta dalam kegiatan-kegiatan pelajaran agama atau ibadah. Harus memberikan kemudahan kepada peserta didik yang berbeda agama untuk mendapatkan pelajaran agama yang sesuai ditempat lain yang direkomendasikan dan mengakui nilai prestasi peserta didik pada pelajaran agama yang diperoleh dari luar tersebut.
4. Lembaga pendidikan agama tertentu harus terbuka dan kooperatif menerima dan memfasilitasi guru pendidikan agama yang sesuai dengan agama peserta didinya di lembaga pendidikannya.
Sumber:
1. Ki Gunawan, Pengamat pendidikan di Yogyakarta
2. Hujair AH. Sanaky, Pengamat pendidikan di Yogyakarta
3. http://www.elearners.com/resources/education-laws.asp
Terima Kasih Semoga Bermanfaat!
Arip Nurahman
Guru dan Dosen Profesional